Monday, February 27, 2012

Mengenal Lebih Jauh Tentang Flu Singapura

http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/2780/mengenal-lebih-jauh-tentang-flu-singapura

OLEH OLIVIA LEWI PRAMESTI  | 10-02-2012 | http://ngi.cc/nIQ | KESEHATAN


Flu Singapura memang bukan penyakit mematikan. Kendati begitu masyarakat perlu waspada terhadap penyakit yang akrab disebut dengan Hand Foot and Mouth Disease (HFMD).

Begitulah pernyataan dari  Pakar Penyakit Dalam Sepesialis Paru-Paru Fakultas Kedokteran UGM, Dr. Sumardi, SpPD, KP menanggapi kasus hadirnya flu Singapura yang melanda salah satu daerah di Indonesia. 

"Masyarakat tidak perlu panik pada flu Singapura. Namun begitu, harus tetap waspada khususnya pada mereka yang mempunyai daya tahan tubuh rendah seperti anak-anak dan balita, khususnya  yang menderita asma, kelainan jantung dan paru-paru,” ujarnya di Yogyakarta, Jumat (10/2).

Penyakit yang ditimbulkan oleh virus coxsacie A16 (CA 16) dan EV71 ini, memiliki gejala awal menyerupai flu pada umumnya seperti demam, sakit tenggorokan, pilek. Namun, flu Singapura disertai dengan munculnya bintil-bintil berwarna merah berisi cairan di telapak tangan, kaki, dan mulut. Biasanya penularannya  terjadi ketika kontak langsung seperti saat bicara, batuk, dan bersin. 

Flu Singapura memiliki masa inkubasi sekitar dua hingga empat hari Penyakit ini banyak menyerang anak-anak dan balita dan jarang menyerang orang dewasa karena memiliki kekebalan tubuh yang lebih kuat. "Kalau dewasa biasanya yang muncul hanya sariawan,” katanya. 

Ia melanjutkan penyakit ini bisa  memperberat penyakit bawaanya (asma, jantung, paru-paru, ginjal) yang akhirnya menyebabkan kematian. Hingga saat ini tidak ada obat khusus yang digunakan untuk virus flu Singapura ini. Biasanya dokter akan memberikan multivitamin untuk menaikkan daya tahan tubuh seperti yang biasa diberikan pada penderita influenza, obat penurun panas untuk mengatasi demam, dan salep untuk bintil-binti di kulit.

Untuk mencegah flu Singapura ini, ia menyarankan  menggunakan penutup muka/masker saat beraktivitas. Selain itu, menjaga pola hidup yang sehat dengan makan makanan bergizi juga penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Kaitannya dengan pemberian vaksinasi, dinilainya tak efektif lantaran sifat virusnya yang mudah berubah dan bermutasi. 

Thursday, February 9, 2012

Udara dalam Rumah Bisa 5 Kali Lebih Kotor dari Luar Ruangan

http://www.detikhealth.com/read/2012/02/09/130042/1838274/766/udara-dalam-rumah-bisa-5-kali-lebih-kotor-dari-luar-ruangan
Kamis, 09/02/2012 13:00 WIB 
Adelia Ratnadita - detikHealth


Jakarta, Udara di rumah bisa menjadi 5 kali lebih tercemar daripada udara luar. Polusi di rumah kadang 2-5 kali lebih tinggi daripada di luar ruangan. Paparan polusi dalam ruangan ini bisa memicu alergi, asma berat, rawat inap untuk penyakit kardiovaskular dan pernapasan bahkan serangan jantung.

"Udara di dalam rumah dapat berisi serbuk sari, jamur dan ozon yang larut dari alam bebas, ketombe binatang peliharaan dan polutan dari produk pembersih rumah tangga," kata Ted Myatt, ScD, seorang ilmuwan senior.

Lalu apa yang harus dilakukan agar udara di rumah tidak menjadi sumber racun? Berikut 5 cara untuk membersihkan dan menyegarkan udara di dalam rumah seperti dikutip dari Prevention, Kamis (9/2/2012) antara lain:

1. Membuka jendela

"Banyak orang yang jarang membuka jendela rumah dengan tujuan untuk menjaga kebersihan udara rumah. Tidak membuka jendela rumah sama sekali justru tidak memungkinkan masuknya oksigen baru atau lepasnya karbon dioksida. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan jumlah oksigen yang dibutuhkan, sehingga dapat menyebabkan lelah dan lesu," kata Matius Waletzke, seorang konsultan biologi bangunan bersertifikat di Long Island, New York.

Buka jendela kamar tidur selama 5-10 menit setelah bangun di pagi hari dan sebelum naik ke tempat tidur di malam hari. Cara tersebut cukup untuk membiarkan karbon dioksida tidak bersisa di dalam ruangan.

2. Membersihkan barang dari ruang bawah tanah dan loteng

"Mengeluarkan barang-barang yang telah lama disimpan dapat menyebarkan debu, memicu gejala alergi seperti mata gatal dan mengi," kata James Sublett," MD, dari University of Louisville School of Medicine.

"Sebelum membersihkan barang-barang di loteng atau ruang bawah tanah sebaiknya menggunakan masker. Masker dapat melindungi dari 95 persen partikel udara yang memicu bersin dan alergi," kata Dr Sublett.

3. Menghindari penggunaan lilin yang berbau wangi

Ada beberapa jenis lilin yang mengeluarkan wangi berlebihan. Hasil studi menunjukkan bahwa, lilin tersebut dapat menghasilkan bagian kecil dari polusi yang dikenal sebagai partikel yang dapat memperparah asma.

Alergen seperti debu bisa terkandung pada partikulat, dan dapat masuk jauh ke dalam paru-paru, sehingga membuat napas lebih sulit.



img 

4. Batasi penggunaan kipas besar

"Menyalakan banyak kipas central untuk ruangan besar pada beberapa ruangan sekaligus, terutama untuk jangka waktu panjang dapat mengarahkan gas buang yang mungkin lebih banyak termasuk asap karbon monoksida yang mematikan. Asap karbon monoksida dapat dihasilkan oleh pemanas gas atau minyak," kata Max Sherman, PhD, seorang ilmuwan senior di Lawrence Berkeley National Laboratory.

Oleh karena itu, sebaiknya segera matikan kipas central setelah selesai digunakan. Atau dapat mempertimbangkan mengganti saklar manual dengan timer untuk membatasi penggunaan yang tidak perlu. Pasang detektor karbon monoksida juga, yang sama pentingnya dengan detektor kebakaran.

5. Ganti filter yang sudah kotor

Spora dapat tinggal lama pada sistem pendingin udara jika semua jendela ditutup. Spora dapat menjadi alergen yang dapat mengiritasi mata, dan memperburuk masalah pernapasan yang ada.

Filter dapat bertindak memegang polutan, seperti serbuk sari, dan ketombe binatang peliharaan dan. Sehingga partikel-partikel tersebut tidak bisa lepas ke udara dalam ruangan. Tetapi sebaiknya gantilah filter secara berkala, agar kebersihan udara rumah dapat terjamin.

Cara Asyik Menjaga Jantung Tetap Kuat

http://www.detikhealth.com/read/2012/02/10/073924/1838969/766/cara-asyik-menjaga-jantung-tetap-kuat?l1101755
Jumat, 10/02/2012 07:46 WIB 
Vera Farah Bararah - detikHealth


Jakarta, Jantung merupakan salah satu organ tubuh yang terbilang penting dan patut dijaga agar tetap sehat. Tapi jangan khawatir, karena ada cara asyik yang bisa dilakukan untuk membuat jantung tetap kuat.

Peneliti di Inggris dan Amerika melakukan studi terhadap 8.000 pegawai negeri untuk menilai tingkat kepuasannya dalam 7 bidang yaitu pekerjaan, hubungan perkawinan atau cinta, kehidupan keluarga, seks, kegiatan rekreasi, standar hidup dan citra diri.

Setelah melakukan penelitian selama 1 dekade didapatkan hasil laki-laki yang merasa puas dengan kehidupan seks yang baik, pekerjaan, keluarga atau dirinya sendiri bisa mengalami penurunan risiko penyakit jantung sebesar 13 persen.

img

"Pekerjaan yang menyenangkan atau kehidupan seks yang memuaskan bisa memberikan manfaat perlindungan bagi jantung," ujar Julia Boehm, PhD, penulis penelitian dan psikolog di Harvard School of Public Health, seperti dikutip dari Menshealth, Jumat (9/2/2012).

Jika pekerjaan yang dimiliki saat ini membuat seseorang stres, maka cobalah menemukan cara untuk mengurangi kadar stres tersebut. Setiap orang kadang memiliki cara yang berbeda-beda.

Jika memang sudah menikah, tak ada salahnya untuk melakukan hubungan seks secara teratur dengan pasangan. Selain bisa membuat jantung tetap kuat, kegiatan ini juga dapat meningkatkan keintiman antar pasangan.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah menyempatkan diri untuk melakukan hobi seperti memotret objek-objek tertentu, traveling, mencoba menu baru atau hanya sekedar mendengarkan musik favorit di kamar sambil membaca buku.

Dr Boehm menuturkan denyut jantung serta penanda inflamasi telah dikaitkan dengan kesehatan psikologis dan jantung. Hal ini menunjukkan jika seseorang merasa puas dengan kehidupannya maka ia bisa melindungi jantungnya dari penyakit.

Jadi jika memiliki penampilan atau bakat, tak ada salahnya untuk menunjukkan bakat tersebut lebih sering. Sedangkan untuk meningkatkan kesehatan mental dan kadar stres lebih rendah bisa melakukan meditasi selama 20 menit sehari yang mampu menurunkan depresi serta kecemasan sebesar 25 persen.

Selain itu untuk lebih meningkatkan kesehatan jantung, tak ada salahnya melakukan olahraga secara teratur, menjaga pola makan seimbang serta menghentikan kebiasaan buruk seperti merokok atau minum alkohol.

Nyetir Jangan Seperti Pembalap, Nanti Saraf Gampang Kejepit

http://www.detikhealth.com/read/2012/02/09/175819/1838741/763/nyetir-jangan-seperti-pembalap-nanti-saraf-gampang-kejepit
Kamis, 09/02/2012 18:02 WIB
AN Uyung Pramudiarja - detikHealth


Jakarta, Anak muda suka menyetir dengan posisi yang tidak enak, badan agak merebah lalu tangannya menjangkau lurus jauh ke depan. Kelihatannya memang keren seperti pembalap, namun sayang risikonya sangat besar yakni gampang kena saraf kejepit. 


Dr Roslan Yusni Hasan, SpBS, Kepala Departemen Bedah Saraf RS Mayapada Tangerang mengatakan bahwa posisi mengemudi ala pembalap akan membebani tulang punggung. Bila terlalu sering dilakukan, maka bantalan antar ruas pada tulang punggung bisa bergeser lalu menjepit saraf. 


Jika mau tulang punggungnya lebih aman, Dr Roslan menganjurkan untuk menyetir mobil dengan posisi ala sopir bus. Posisi badan tegak sedekat mungkin dengan setir, kemudian lengan ditekuk serileks mungkin seperti sopir-sopir yang mengemudikan bus antarkota. 


"Memang tidak keren sih, tapi ya itu yang paling aman. Posisi nyetir seperti pembalap itu bikin pengemudi lebih rentan mengalami saraf kejepit," kata Dr Roslan dalam jumpa pers Seminar Kesehatan dan Aksi Donor Darah di RS Mayapada Tangerang, Kamis (9/2/2012). 


img


Selain posisi duduk saat mengemudi, postur tubuh saat mengangkat beban juga perlu diperhatikan untuk mengantisipasi saraf kejepit. Langsung membungkukkan badan saat mengambil barang berat di lantai akan membuat beban pada tulang punggung makin berat. 


Cara yang lebih aman adalah dengan menekuk lutut terlebih dahulu, hingga setengah jongkok baru mengulurkan tangan ke bawah untuk menjangkau barang di lantai yang mau diambil. Selama bergerak, postur tubuh sebisa mungkin dijaga agar tetap tegak. 


"Kalau tidak mau saraf kejepit, ambil barang harus 'kemayu' (sok cantik). Begini contohnya," jelas Dr Roslan seraya memperagakan gaya mengambil barang dengan kemayu, sambil memasang ekspresi tersenyum-senyum sehingga makin memberikan kesan sok cantik. 


Gejala umum saat terjadi saraf kejepit menurut Dr Roslan adalah nyeri pinggang. Namun nyeri pinggang tidak selalu berarti saraf kejepit, bisa juga karena penyakit-penyakit lain misalnya gangguan ginjal atau bahkan penyakit kulit seperti herpes.

Tuesday, February 7, 2012

Dampak Negatif Susu Kedelai Yang Tidak Diketahui

http://www.klikdokter.com/healthnewstopics/read/2010/08/09/15031111/dampak-negatif-susu-kedelai-yang-tidak-diketahui
Oleh : dr. Indiradewi Hestinignsih




Tahukah Anda? Susu kedelai bermanfaat jika produk kedelai telah terfermentasi. Namun ”tidak” bermanfaat jika produk tersebut adalah non-fermentasi.

The Cancer Council of New South Wales, Australia telah memperingatkan penderita kanker untuk menghindari makanan yang berbahan dasar kedelai. Peringatan tersebut dilatarbelakangi oleh karena kedelai non-fermentasi akan mempercepat pertumbuhan kanker.
Produk kedelai terbagi menjadi 2 jenis, yakni produk yang terfermentasi adalah tempe, kecap, miso, natto dan kecambah kedelai. Dilain sisi terdapat produk NON-FERMENTASI seperti misalnya tahu dan susu kedelai, dan lainnya,

Pada produk kacang kedelai yang non-fermentasi terdapat kandungan zat yang diyakini membawa dampak buruk dan perlu diperhatikan, diantaranya seperti:

Kanker Tiroid
A)  Goitrogen – komponen yang mengganggu fungsi tiroid, dapat menyebabkan hypotiroid dan juga beresiko menyebabkan kanker tiroid. Untuk terjadi kanker, tergantung banyaknya dan usia.


Berdasarkan Soy Online Service, bayi seharusnya tidak mengonsumsi kedelai sama sekali. Bagi orang dewasa, hanya dengan 30 mg isoflavone (termasuk komponen goitrogen) per hari cukup mengganggu fungsi tiroid. Takaran isoflavon yang perlu diwaspadai ini ada pada 5-8 ons susu kedelai.

B)  Asam Phytic – Kedelai mengandung asam Phytic, yaitu asam yang dapat menghalangi penyerapan mineral seperti misalnya zat besi, kalsium, tembaga, dan terutama seng dalam saluran pencernaan.

Gangguan penyerapan mineral dalam saluran pencernaan.
Seng dibutuhkan untuk perkembangan dan fungsi otak serta sistem syaraf. Juga berperan penting dalam mengendalikan mekanisme kadar gula darah sehingga melindungi dari diabetes serta menjaga kesuburan.

Pada proses fermentasi kandungan asam phytic ini jauh berkurang sampai pada level aman untuk segala umur.

C) Penghambat Trypsin – mengurangi kemampuan untuk mencerna protein. Pemberian produk kedelai yang non-fermentasi pada bayi dan anak secara teratur akan mengganggu pertumbuhannya. Kacang-kacangan lain yang memiliki kandungan penghambat trypsin yang tinggi adalah kacang lima.
Gangguan pertumbuhan

D) Nitrat – bersifat karsinogen (penyebab kanker), terbentuk pada saat pengeringan, dan zat beracun lysinoalanin terbentuk selama proses alkalin. Berbagai macam zat aditif buatan, terutama MSG (zat aditif yang merusak sel syaraf) telah ditambahkan pada produk kedelai untuk menyamarkan “aroma kacang”nya yang kuat dan memberikan rasa mirip daging.

E) Phytoestrogen – Biasanya dipakai untuk membantu mengurangi efek produksi estrogen yang rendah dalam tubuh, kini ditemukan sebagai faktor penyebab kanker payudara dan leukemia pada anak.

Sel Kanker
F) Aluminum – Dari beberapa penelitian telah diketahui adanya hubungan antara keberadaan aluminium dengan penyakit Alzheimer. Tapi tahukah Anda bahwa susu kedelai mengandung aluminium 11 kali (1100 persen) lebih banyak dibandingkan susu formula biasa?!

G) Mangan – Produk formula kedelai memiliki kandungan mangan berlebih bagi tubuh kita. Mangan dalam tingkat kecil sangat kita butuhkan untuk membantu sel tubuh kita mengumpulkan energi. Tapi jika berlebih, mangan bisa menyebabkan kerusakan otak seperti pada penyakit Parkinson. 
Tingkat kandungan mangan di tiap susu bayi berbeda-beda, yaitu:
  • ASI mengandung 4-6 mcg/L.
  • Susu formula bayi biasa (dari sapi) mengandung 30-50 mcg/L.
  • Susu formula kedelai mengandung 200-300 mcg/L!!!

H) Terlalu Banyak Omega-6. Produk kedelai non-fermentasi mengandung kandungan Omega-6 yang lebih banyak dibandingkan Omega-3. Ketidakseimbangan rasio antara Omega-3 dengan Omega-6 akan membuat kita rentan terkena penyakit kanker, diabetes, penyakit jantung, arthritis, asma, hiperaktif, dan depresi.

Dampak Bagi Anak Laki-Laki
“Pubertas dini (yang disebabkan oleh produk kedelai) bisa meningkatkan resiko anak laki-laki menderita kanker testicular di saat menjelang dewasa, karena telah terpapar berbagai hormone seks terus menerus,” ujar Marcia Herman-Giddens , peneliti dari  University of North Carolina. 

Kandungan berlebih isoflavon memiliki sifat feminisasi, yang akan MENGAKIBATKAN UKURAN KELAMIN BAYI LAKI-LAKI JADI LEBIH KECIL DAN KECENDERUNGAN GENETIKA YANG MENGARAH KE HOMOSEKSUALITAS. Beberapa ahli mempersalahkan pengkonsumsian susu formula bayi sebagai salah satu faktor kecenderungan genetika anak laki-laki menjadi seperti perempuan. 

Dampak Bagi Anak Perempuan 
Produk formula kedelai mengandung tingkat hormon sebanyak 240 kali lebih tinggi dibandingkan ASI!
Anak-anak perempuan yang memasuki masa pubertas akan beresiko besar menderita kanker payudara dan juga kista rahim jika mengalami gangguan tiroid karena rutin mengonsumsi produk kedelai non-fermentasi.

Dampak Bagi Wanita Muda
Disamping itu juga didapati bahwa dua gelas susu kedelai sehari dalam satu bulan penuh, mengandung cukup komponen kimiawi yang dapat mengganggu siklus menstruasi wanita. Para wanita yang memakai pil-pil kontrasepsi lebih sering mudah marah-marah seiring adanya gangguan hormonal. Hanya dengan 100 gr dari produk kedelai, mengandung komponen estrogenik yang sama dengan satu pil kontrasepsi.

Dampak Bagi Pria Dewasa
phytoestrogen kedelai menghambat enzim yang dibutuhkan tubuh untuk menghasilkan hormone testoteron (hormone pria).

Penelitian terhadap pejantan hewan-hewan juga telah banyak dilakukan, baik dari belalang sampai dengan cheetah. Dari penelitian-penelitian tersebut didapati bahwa kedelai mengakibatkan para pejantan ini kurang percaya diri, kurang agresif, hasrat seksual menurun, dan jumlah sperma  pun berkurang.

Dampaknya pada manusia terlihat lebih lambat daripada pada hewan. Tapi tetap saja berdampak negatif jika kedelai secara rutin diberikan pada pria.[](IND/DA)

Silent Killer

http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,395420,00.html
By Phil Zabriskie/Hong Kong Monday, Dec. 09, 2002



Earlier this year, Chan Tak "Anson" Shin developed a rash on his leg that wouldn't heal. Not overly concerned, he visited a doctor near his home in Hong Kong's New Territories and underwent a string of blood tests. The diagnosis? Type 2 diabetes, long known as "adult-onset diabetes." Genetically speaking, Anson was an ideal candidate for the disease. Both his grandfathers had suffered from it in their later years, as did his father and two uncles. And, by his own admission, Anson led a less than healthy lifestyle, spending most of his spare time playing a computer game called Heroes of the Three Kingdoms. He loved to eat too. He'd scarf down bags of potato chips at a sitting, and he dined at McDonald's and Pizza Hut several times a week. But in another sense, Anson was a shockingly unlikely victim of adult-onset diabetes. He was, after all, just a kid—a regular, somewhat plump 13-year-old boy.

Diabetes isn't behaving the way it did in the past. Forget your former notions of the disease: that it strikes old aunties and the rich, or that it seldom kills. Diabetes no longer cares about class distinctions or age—it's becoming as prevalent in Asian slums as in mansions, and it's ravaging the young like never before. The numbers are staggering. The World Health Organization (WHO) estimates that 177 million people worldwide have diabetes, a figure that's expected to surpass 300 million by 2025. Dr. Paul Zimmet, director of the International Diabetes Institute (IDI) in Victoria, Australia, predicts that diabetes "is going to be the biggest epidemic in human history." It has also increasingly become an Asian disease. Today, some 89 million Asians are thought to be diabetic, and four of the five largest diabetic populations are to be found in Asian countries. India has an estimated 32.7 million people with diabetes, according to the IDI. China has 22.6 million, Pakistan 8.8 and Japan 7.1.

The disease is also spreading more rapidly in Asia than anywhere else. Asia's count is expected to hit 170 million by 2025, with India and China together accounting for almost 100 million victims. Most of Asia is hopelessly unprepared for this health crisis, which will inundate hospitals and place increasing pressure on national healthcare budgets. But the toll of this disease is ultimately more personal and painful than these numbers can convey. You may susceptible yourself—your kids, too.

Diabetes attacks the body slowly and stealthily, leading to a common misconception that it's a relatively benign condition. Initially, it produces only subtle symptoms such as excessive thirst and frequent urination, so the patient is often unaware that anything is wrong. "Half the people with diabetes don't know they've got it," says Zimmet. "It's a silent killer."

In a healthy body, the pancreas releases the hormone insulin, which transforms blood sugar into energy. Diabetes interrupts the process. Untreated or unrecognized, the disease causes excess blood sugar to build in the veins. It gradually clogs blood vessels, damages body tissue, wrecks the eyes, the kidneys, the heart. This invites a host of miserable fates: strokes, heart disease, high blood pressure, kidney failure, blindness, amputations due to the loss of circulation. "Mortality statistics seriously underestimate its impact," says Dr. Hilary King, director of the WHO's diabetes unit, "since most people with diabetes die from its consequences rather than the disease itself."

There are two varieties of diabetes. Type 1—insulin-dependent diabetes—is an inherited autoimmune affliction wherein the pancreas doesn't produce insulin. In the old days, children who were forced to inject themselves with insulin before school each day were nearly all in this group: they were born with the disease, and they will die from it if they do not take insulin regularly. Arun Elayaperu-mal, a 16-year-old from Chennai, India, was diagnosed as Type 1 when he was barely three, though his family apparently had no prior history of the disease. "My wife and I were completely shattered," says Arun's father, Elayaperumal, who works at a zoo on the city's outskirts. The family couldn't afford insulin, but a local hospital gave it to Arun for free. Even so, his vision began to fail, and he went blind at 12. "I still remember climbing trees and playing cricket, and the colors of the animals," says Arun. He has thrived in a special school for blind and deaf children and now hopes to be a teacher. But his family was jolted anew when his sister, Elakkiya, was also diagnosed with Type 1. She was only two-and-a-half years old.

Type 2 is the strain most of us have to fear. This is the real epidemic, accounting for 90-95% of diabetes cases worldwide. In this form, the pancreas isn't the problem. It does its job of producing insulin, but for some reason scientists haven't been able to fathom, it either doesn't produce enough or the body fails to employ the insulin as it should. The effect can be devastating.

A decade ago, a case like Anson's would have been startlingly rare. No longer. Type 1 is still the most common form of the disease in children, but experts believe the opposite could be true in the next 10 to 20 years. "There is an alarming shift downwards in the age of onset," says Professor Clive Cockram, vice president of the WHO-affiliated International Diabetes Federation (IDF). "These days, we're seeing far more patients who are under 40 and under 30," agrees Dr. Sum Chee Fang, director of the diabetes center at Singapore's Alexandra Hospital. Children are showing up in increasing numbers, too. In New Delhi, Yash Gupta was diagnosed with Type 2 at age 11 on a visit to the doctor for something so mild his mother can't remember what it was. In Japan, 80% of new cases in children are Type 2, some as young as nine. "We've even found a few Type 2 diabetics among kids below six," says Dr. Tsai Shih-tzer, president of the Taiwanese Association of Diabetes Educators.

The obvious question: What's speeding the sweep of Type 2 diabetes across Asia? Above all, it's a matter of lifestyle. The shape of Asia is literally changing, and many are inclined to blame it on Western-style food, personified by ubiquitous chains like McDonald's and KFC. Shigetaka Sugihara, a professor at Tokyo Women's Medical University, says simply that kids with Type 2 have "the Western type of diabetes." Likewise, Zimmet speaks of the "Coca-Colaization" and "Nintendoization" of Asia. Of course, fatty foods were popular in Asia long before globalization—from fried pork in the Philippines to dim sum in China. But as unhealthy foods become more widely available, it's no surprise to find kids eagerly devouring them, and washing them down with sugary drinks. It doesn't help that they also spend more time indoors than their forebears, seduced by TV or computers—much as their parents' generation has increasingly taken to driving instead of walking, and to typing memos instead of farming.

Evolution also comes into play. Researchers cite the theory of the "thrifty gene," which posits that the human body is designed to survive periods of feast and famine—the bountiful seasons of harvest and hunting followed by the inevitable fallow seasons. Food consumed in times of plenty is stored away for later use. Today, despite rampant poverty, there is more food available to the average person—a perpetual state of feast. The Worldwatch Institute in Washington, D.C., announced in 2000 that for the first time ever, there are as many overweight people on the planet as there are undernourished. Although the average Asian isn't nearly as large as the typical American couch potato, any excess fat can upset the regulation of blood sugar. Indeed, Zimmet uses the word "diabesity" to describe this phenomenon.

Anson, now 14, is a prime example. He isn't huge, but at 170 centimeters he already weighs 77 kilograms. That's clinically obese. And for Asians, the danger of being overweight appears to be greater: recent reports in 10 countries found that Asians are more likely to encounter the risks that come with obesity and diabetes than Westerners of identical height and weight. (Another conclusion of the studies was that Asians on the whole exercise less than Westerners.)

There is some evidence that certain ethnic groups—primarily Chinese, Indian and Malay—are more disposed to diabetes than others. They're especially at risk when they abandon traditional diets or lifestyles. Hence, abnormally high rates of Type 2 diabetes are found in the Chinese and Indian populations of, say, Mauritius. If a person moves from a village to a city, you would expect psychological consequences, such as homesickness and feelings of isolation. A similar process occurs inside the body. The changes trigger a kind of biological trauma that, among other things, upsets the processing of blood sugars and can lead to diabetes. The disease, explains Zimmet, is "spreading the way society is changing."

As a result, the disease shows up in Asian cities far more than in the countryside. For example, Thailand has a relatively low rate of diabetes nationwide—4.8%—but that figure jumps to almost 7% in the nation's cities. One of these sufferers is Lumpoon Narinook, 55, who grew up working alongside her parents on their small farm in northern Thailand. Farming or playing, she was almost constantly active. She moved to Bangkok when she was 25 to find work, settling in a one-room concrete apartment in the Klong Toey slums, and her life slowed down. She became a street vendor, making and selling sweets. Her weight rose, and she began having spells of blurred vision. Thirteen years ago, Narinook was diagnosed with Type 2 diabetes. She had never heard of the disease, and even now she asks if anyone outside Thailand has it. Regular insulin shots have helped stabilize her condition, but one of her five children is diabetic, and she worries about her grandchildren and nieces and nephews, urging them to exercise and stay away from fast food. She's afraid to send them to the nearby playground, however, because she fears they might get robbed or even snatched.

In Bangkok's low-income neighborhoods as many as 20% of the residents are thought to have impaired glucose tolerance, a high-blood-sugar condition that often leads to diabetes. As Bangkok goes, so do other fast-changing, migrant-packed cities in Asia. Only 1.2% of Jakarta's population was diabetic in 1990; in 2000, the figure hit 12%. In Vietnam, less than 5% of people in major urban areas have diabetes, which sounds small but represents a threefold increase in the past decade. And this is only the beginning. According to a 2002 report by the IDF, "the prevalence of adult diabetes in developing countries is expected to increase by 170% between 1995 and 2025" versus 41% in the developed world. To Dr. Warren Lee of KK Women's and Children's Hospital in Singapore, it's all part of a seismic shift away from the more physical lifestyle of our hunter-gatherer ancestors: "Twenty-first-century man is becoming a sedentary person because of the nature of his work."

What to do in a vast continent growing ever more populous, comfortable on the couch, trapped in the embrace of office cubicles and behind fast-food trays? Singapore, that model of social engineering, has come up with a plan. Back in the 1980s and 1990s, the country went through a period of "epidemiological transition," says Dr. Chew Suok Kai, director of the Ministry of Health's epidemiology and disease-control division. In other words, obesity rates shot up, as did the prevalence of diabetes. A study released in September by KK Women's and Children's Hospital showed that 15% of Singaporean adults have diabetes. Among children in general, the rate is low. But it stands at 36% for obese kids.

Unlike most of Asia, however, Singapore has the resources and will to tackle the disease. Several hospitals have departments that specifically treat the disease, and kids are carefully observed at schools: those identified as overweight are placed in special exercise classes. During morning rush hour, streams of uniformed, overweight children jog along the orchid-lined boulevards. Officials dreamed up a $100 million bond offering to fund a program that promotes healthy living. They've even bullied street vendors into hawking fare made with less oil and are trying to exert the same moral suasion on fast-food joints. The goal, says Chew, is to get the rates below 10% by 2010. He's hopeful; the city-state's incidence rates for diabetes are actually slowing.

Few countries are this proactive. "Let's face it," says Professor Sunthorn Tandhanand, president of the Diabetes Association of Thailand, "our government is already trying to make ends meet, and there are a lot of more-serious diseases out there that need more-immediate attention." (Thailand's list of diseases is pretty much the same as the rest of Asia's, from AIDS to tuberculosis.) 

Indonesia has 50 diabetes specialists—looking after 6 million patients. In Japan, the bill for treating diabetes is $8 billion, according to the government. But Dr. Shunya Ikeda of the Keio University School of Medicine says the bill is far higher if you include the cost of treating the disease's complications.

And money is just one of the obstacles in the war against diabetes. Cultural factors get in the way, too. Dr. Huen Kwai Fun of Tseung Kwan O Hospital in Hong Kong says she still meets parents who are ashamed when they learn their children have diabetes, and she says children with the disease are sometimes ostracized on the playground or in the neighborhood. For Elayaperumal, father of Arun and Elakkiya, his daughter's diabetes opened a new range of concerns. "We are keeping our fingers crossed and praying that the girl should not lose her eyesight," says her father. "But we are also worried about how we can get her married." Dr. Shobana Ramachandran, assistant director of the M.V. Hospital for Diabetes in Chennai, recalls a young bride who didn't take insulin during her honeymoon because she had kept her diabetes a secret during courtship. The disease does not permit for such lapses: the newlywed fell into a coma and died.

No one would choose to live with this time bomb, but millions must. What's heartening is that they can live with diabetes if they manage it carefully—eating healthily, exercising and minimizing stress. Japanese singer Hideo Murata chose not to take control, refusing treatment even though he knew he was diabetic. He had a heart attack in 1995, lost both legs and died last June.

Few have done so as successfully as Wasim Akram. His first hint that something was amiss came in 1997 when he found himself rapidly losing weight. He felt weak and tired, craved desserts and kept waking at night to urinate. A doctor in Lahore diagnosed him with Type 1 diabetes and told him to go on insulin at once. "I was very down," says Akram. "I had heard diabetes only happened to obese people. I'm not fat." Indeed, at the time, Akram was a world-class athlete, a man of 30 and at the height of his career as a fast bowler for Pakistan's national cricket team.

But Akram refused to let diabetes beat him. After three weeks, he was back on the field. He tested his sugar levels 10 times a day, pricking a hole in each finger to draw blood. He injected himself with insulin three times daily and ratcheted up his fitness regimen, heading to the gym for two hours a day. "I learned that the best way to control the sugar levels is to exercise," he says. Akram also came to quickly recognize signs that he is weakening. "I start sweating and feel hungry," he says, "and I have a chocolate on the boundary line." Only when he's bowling does he miss an insulin shot, since the exertion burns off enough sugar to keep his body functioning without medication.

His efforts have paid off. In 1999, just two years after being diagnosed with diabetes, Akram captained Pakistan to the World Cup finals. Today, he reigns as one of the game's all-time greats: only three bowlers in the history of test-match cricket have taken as many wickets. Next year, Akram plans to retire from cricket and focus increasingly on educating people about diabetes. He's already traveled throughout Pakistan, as well as to Australia and England, to speak about combating the disease by living healthily. "People listen to me," he says. "They think: If he can do it, so can we."

For a kid like Anson, learning to lead a healthy life hasn't been easy. But he's trying. He spends more time nowadays riding his bike and playing football. He makes an effort to eat fruit instead of chips, and he ducks out when his friends go to McDonald's—though he's too embarrassed to tell them why. To regulate his blood sugar, Anson takes a drug called Metformin before breakfast and dinner each day. So far, it's working. But his doctors have warned him: If he can't keep his weight under control, he's likely to end up needing insulin. Anson, who is afraid of needles, shudders at the prospect; for years, he has watched his diabetic father injecting himself with the drug. This life—this fear—is a heavy burden for a boy of 14. But Anson knows he must be tireless in fighting diabetes; for the disease, as Asia is learning, will be ruthless.


Tips Menjaga Kesehatan Jantung

http://anekamacamtips.blogdetik.com/tips-menjaga-kesehatan-jantung/

jaaaaaaaaaan



Jantung adalah salah satu organ tubuh kita yang sangat penting dan harus dijaga kesehatannya. Di Indonesia, penyakit jantung berpotensi tinggi sebagai penyebab kematian. Maka dari itu, harus lebih ditekankan dalam diri kita tentang betapa pentingnyamenjaga kesehatan jantung. Sudah beberapa orang bahkan artis ternama seperti Ade Namnung, Ida Kusumah, Adji Massaid, Benyamin S, dll harus mengakhiri hidupnya karena penyakit itu. Angka kematian karena penyakit ini akan selalu bertambah seiring dengan bertambah buruknya gaya hidup masyarakat.
Berikut ini adalah beberapa tips mengoptimalkan dan menjaga kesehatan jantung :
1. Bernafas.
Pernafasan dalam dan perlahan akan mengurangi beban kerja jantung, membuat jantung lebih kuat dan berkerja lebih efisien. mendapat cukup oksigen, mencegah hipertensi dan membuat jantung lebih awet.
2. Tidur.
Seseorang yang tidur hanya enam jam atau kurang dari enam jam dalam sehari akan beresiko memiliki banyak protein C - reactive yang berkaitan dengan penyakit jantung.
3. Jalan Kaki.
Melakukan jalan kaki dengan cepat selama tiga jam dalam seminggu akan menurunkan resiko terkena penyakit jantung koroner 30 - 40 %.
4. Buah.
Banyak mengkonsumsi buah akan membuat jantung sehat dan segar. Misalnya kita mengkonsumsi buah pisang yang akan membantu menurunkan darah tinggi dan menjaga otot jantung, atau buah jeruk, melon dan pepaya yang mengandung vitamin C yang baik untuk jantung.
5. Sayuran.
Berbagai macam sayuran yang baik untuk jantung misalnya bayam baik untuk kesehatan pembuluh darah arteri, brokoli yang berfungsi sebagai zat pelindung jantung, tomat yang berfungsi menjaga kerusakan pembuluh arteri.
6. Air Putih.
Memperbanyak minum air putih lebih dari lima gelas sehari akan dapat membantu memperlancar konerja jantung dan darah lebih kental.
7. Senyum.
Senyum dan tawa akan memperlancar sirkulasi darah, mengurangi beban pembuluh darah dan mengurangi penyakit jantung.
Begitu mudah kan cara menjaga kesehatan jantung kita..? Mari mulai sekarang biasakanlah mencanangkan pola hidup sehat dalam hidup kita agar jantung selalu sehat dan semangat.




Pusing Lihat Labirin? Berarti Terlalu Pikun untuk Mengemudi

http://www.detikhealth.com/read/2011/12/18/100559/1793712/763/pusing-lihat-labirin-berarti-terlalu-pikun-untuk-mengemudi?lbbank
Minggu, 18/12/2011 10:05 WIB 

AN Uyung Pramudiarja - detikHealth


img






Adelaide, Permainan labirin atau gambar lorong berliku-liku biasanya hanya dimainkan oleh anak kecil. Namun bagi para ahli psikologi, labirin bisa jadi alat uji kelayakan mengemudi. Pusing melihat labirin artinya terlalu pikun untuk mengemudi.

Tentu saja bukan sembarang labirin yang bisa dipakai sebagai alat uji. Hanya labirin khusus yang dikembangkan oleh Dr Carol Snellgrove, seorang psikolog dan ahli kecerdasan dari Flinders Medical Centre di Adelaide, yang bisa digunakan untuk keperluan tersebut.

Sepintas, labirin yang dinamakan Snellgrove Maze Task ini sama seperti labirin biasa yang biasa dimainkan oleh anak kecil dengan cara menelusuri lorong-lorongnya dengan pensil. Bedanya, labirin ini punya standar yakni harus diselesaikan tanpa kesalahan dalam waktu 60 detik.

Tingkat kesulitannya sudah disesuaikan dengan kesulitan saat mengemudi di jalan raya. Menurut Dr Snellgrove, kemampuan mengerjakan labirin ini setara dengan kemampuan memikirkan dan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi di jalan raya.

"Dengan labirin ini, gangguan kognitif (seperti yang dialami orang pikun) bisa terdeteksi tanpa harus menjalani tes di jalan raya," tulis Dr Snellgrove di jurnal medicSA edisi Desember 2011 seperti dikutip dari News.com.au, Minggu (18/12/2011).

Keakuratan alat uji berupa labirin ini sudah dibuktikan dalam sebuah eksperimen yang melibatkan 115 orang yang sudah mulai menunjukkan gejala pikun. Para partisipan diminta menyelesaikan Labirin Snellgrove, lalu hasilnya dibandingkan dengan tes mengemudi di jalan raya.

Partisipan yang gagal di tes jalan raya umumnya juga gagal menyelesaikan labirin dalam waktu 60 detik. Sebaliknya, paritispan yang menyelesaikan labirin kurang dari 60 detik dengan hanya melakukan kurang dari 2 kesalahan, biasanya juga lolos dalam tes mengemudi di jalan raya.



(up/ir

Pertanyaan untuk Tahu Risiko Alzheimer

http://www.detikhealth.com/read/2012/02/07/105700/1836022/763/pertanyaan-untuk-tahu-risiko-alzheimer?lbkonsul
Selasa, 07/02/2012 10:57 WIB 

Vera Farah Bararah - detikHealth


img
(Foto: thinkstock)
Jakarta, Alzheimer menjadi salah satu penyakit yang ditakuti karena membuat orang lupa jati dirinya. Kini ada tes yang bisa dilakukan untuk mengetahui risiko Alzheimer dengan menjawab 21 pertanyaan berikut.

Dokter menemukan sebuah tes cepat yang bisa memberitahu seseorang jika ia berisiko terkena penyakit Alzheimer. Sebanyak 21 pertanyaan diberikan untuk membedakan antara linglung normal dan penyimpangan memori yang mungkin menjadi tanda awal demensia.

Pertanyaan ini dirancang untuk dijawab oleh pasangan atau teman dekat. Kuesioner alzheimer ini hampir 90 persen akurat untuk mengukur kerusakan kognitif ringan dan penyimpangan sedikit memori yang bisa jadi dasar suatu penyakit.

Tes ini dirancang oleh Banner Sun Health Research Institute di Arizona. Dalam 21 pertanyaan ini seseorang hanya menjawab 'ya' atau 'tidak'. Setiap jawaban 'ya' memiliki skor 1 atau 2, sedangkan jawaban 'tidak' memiliki skor nol. Skor yang didapatkan setelah menjawab seluruh pertanyaan tersebut bisa menjadi indikator seberapa besar risiko seseorang bisa terkena penyakit alzheimer.

"Saat ini metode cepat dalam mengetahui penyakit sejak awal ia tumbuh adalah suatu hal yang dibutuhkan," ujar peneliti Michael Malek-Ahmadi yang dilaporkan dalam jurnal BMC Geriatrics, seperti dikutip dari Dailymail, Selasa (7/2/2012).

Berikut adalah pertanyaan yang bisa dijawab untuk mengetahui risiko terkena alzheimer, yaitu:

1. Apakah orang terdekat Anda mengalami kehilangan memori?
Ya (1) Tidak (0)

2. Jika iya, apakah gangguan ini memburuk dalam beberapa tahun terakhir?
Ya (1) Tidak (0)

3. Apakah mereka pernah mengulang pertanyaan, pernyataan atau cerita yang sama dalam 1 hari?
Ya (2) Tidak (0)

4. Apakah mereka mengambil alih janji, atau pasien justru melupakan janjinya?
Ya (1) Tidak (0)

5. Apakah mereka salah meletakkan barang lebih dari sekali dalam sebulan?
Ya (1) Tidak (0)

6. Apakah mereka menyalahkan orang lain karena menyembunyikan atau mencuri barang yang tidak bisa ditemukannya?
Ya (1) Tidak (0)

7. Apakah mereka sering bermasalah dalam mengetahui hari, tanggal, bulan, tahun dan waktu, atau sering mengecek tanggal lebih dari 1 kali dalam sehari?
Ya (2) Tidak (0)

8. Apakah mereka menjadi bingung saat berada di tempat-tempat yang asing untuknya?
Ya (1) Tidak (0)

9. Apakah mereka menjadi lebih sering bingung ketika tidak berada di rumah atau saat sedang berjalan-jalan?
Ya (2) Tidak (0)

10. Diluar keterbatasan fisik, apakah mereka memiliki masalah dalam mengatur uang, misalnya ketika memberikan tips atau menghitung sesuatu?
Ya (1) Tidak (0)

11. Apakah mereka memiliki masalah ketika membayar atau melakukan sesuatu yang berhubungan dengan keuangan?
Ya (2) Tidak (0)

12. Apakah mereka memiliki masalah dalam mengingat waktu minum obat atau lupa mengonsumsi obat yang biasa dikonsumsi?
Ya (1) Tidak 0)

13. Apakah mereka menjadi sulit saat mengemudi atau Anda khawatir jika pasien yang mengemudi?
Ya (1) Tidak (0)

14. Apakah mereka memiliki masalah saat menggunakan barang seperti telepon, pisau, remote atau microwave?
Ya (1) Tidak (0)

15. Diluar keterbatasan fisik, apakah mereka sulit mengejarkan pekerjaan rumah tangga?
Ya (1) Tidak (0)

16. Diluar keterbatasan fisik, apakah mereka berhenti atau menyerah melakukan hobinya seperti golf, menari, olahraga atau kerajinan tangan?
Ya (1) Tidak (0)

17. Apakah mereka jadi lupa dengan keluarga atau orang disekitarnya seperti tetangga sendiri?
Ya (2) Tidak (0)

18. Apakah mereka gagal atau sulit menentukan arah?
Ya (1) Tidak (0)

19. Apakah mereka sulit menemukan kata-kata selain nama?
Ya (1) Tidak (0)

20. Apakah mereka bingung dengan nama keluarga atau teman?
Ya (2) Tidak (0)

21. Apakah mereka kesulitan mengenal anggota keluarganya sendiri?
Ya (2) Tidak (0)

Jika skor yang didapatkan 0-4 : tidak ada penyebab atau hal yang perlu dikhawatirkan
Jika skor yang didapatkan 5-14 : memori yang hilang mungkin bisa menjadi gejala awal dari alzheimer
Jika skor yang didapatkan lebih dari 15 : alzheimer kemungkinan sudah berkembang

"Terserah dokter dan pasien menginterpretasikan hasil tes, siapa pun yang mencetak skor 5 atau lebih sebaiknya harus mencari bantuan ahli," ujar Malek Ahmadi.