M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
Rabu, 13 Juli 2011 , 08:08:00
dr I Putu Gede Kayika SpOG. Foto : M Hilmi Setiawan/Jawa Pos
Perempuan yang baru saja menikah alias pengantin baru, ternyata, rawan terkena disfungsi seksual (gangguan seksual). Hal itu terungkap dari penelitian dr I Putu Gede Kayika SpOG. Berkat penelitian tersebut, Kayika kemarin resmi memperoleh gelar doktor.
KAYIKA bernapas lega. Dia pun tersenyum bahagia. Itu terjadi ketika namanya dinyatakan lulus oleh Prof Pratiwi Puji Lestari Sudarmono SpMK dan berhak menyandang gelar doktor.
Pengumuman kelulusan tersebut seakan menjadi gong dalam acara ujian terbuka program doktoral di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) kemarin. Siang itu, sekitar pukul 11.30, Ruang Sena Pratisa Sutomo Tjokronegoro di departemen patologi anatomi menjadi saksi lahirnya seorang doktor baru, I Putu Gede Kayika.
Sesudah ujian terbuka, Kayika mendapat ucapan selamat dari sekitar 20-an undangan yang hadir. Dia didampingi istrinya, Made Sudarmini, serta tiga anaknya, Ni Putu Galuh Wibhutisari, Ni Made Uning Elingasari, dan I Nyoman Karmani Kaynanda. "Terima kasih, terima kasih." Kata-kata itu selalu diucapkan oleh Kayika setiap kali disalami teman-temannya.
Saat ditemui Jawa Pos, spesialis kandungan dan kebidanan dari Denpasar tersebut menjelaskan secara panjang lebar penelitiannya. "Penelitian itu berawal dari ketertarikan saya terhadap perilaku para perempuan yang menghadapi masa-masa pranikah," tutur pria 47 tahun itu.
Menurut dia, para perempuan tersebut cenderung menyepelekan berbagai persiapan yang seharusnya sudah dimatangkan sebelum hari H pernikahan. Kalaupun ada bantuan jasa layanan pranikah, menurut Kayika, itu sebatas menata dari sisi spiritual si perempuan dan pasangannya.
"Padahal, orang menikah itu bukan hanya urusan spiritual, tapi juga mental dan kesehatan," tutur dokter yang mengawali karirnya sebagai dokter puskesmas di Kalimantan Selatan tersebut.
Salah satu yang menjadi konsentrasi Kayika adalah urusan seksual. Dia menjelaskan, masa-masa pengantin baru merupakan waktu yang cukup penting bagi perempuan. Masa yang cukup penting itu bisa rusak gara-gara persiapan pranikah yang tidak matang.
Kayika menambahkan, budaya yang berkembang di masyarakat kita masih memandang tabu kegiatan mengonsultasikan persoalan disfungsi seksual. "Terutama bagi perempuan," ujar dia. "Karena itu, penelitian saya tersebut lebih berfokus pada disfungsi seksual pada perempuan pengantin baru," ungkap dia.
Dalam penelitian itu, Kayika menggunakan 94 perempuan yang akan menikah sebagai responden. Bagaimana cara dia mengumpulkan puluhan perempuan itu" Kayika menyatakan menggali data dari delapan KUA (kantor urusan agama) di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat. Demi penelitian itu, Kayika mendampingi seluruh repondennya hingga tiga bulan setelah menikah.
Kala menggali data dari para responden, Kayika juga menemukan hambatan. "Mereka cenderung tertutup. Tapi, itu sudah dipertimbangkan," terang dia.
Cara mengatasinya, Kayika mengumpulkan seluruh reponden dalam sebuah seminar. Di acara tersebut, dia meyakinkan para responden itu bahwa informasi yang mereka berikan bisa mengatasi persoalan seksual orang lain. "Akhirnya, mereka bersedia," kata dia. Para responden itu akhirnya bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan Kayika tentang urusan hubungan ranjang setelah mereka menikah.
Melalui penelitian yang menggunakan alat ukur female sexual function index (FSFI) dan memperhitungkan distress (jenis stres negatif) pribadi, Kayika menengarai 19,1 persen atau sekitar 17 perempuan di antara 94 responden pada masa pengantin baru mengalami disfungsi seksual.
Celakanya, dari jumlah tersebut, hanya seperempatnya yang mempersepsikan diri mengalami disfungsi seksual. "Persepsi yang rendah itu bisa disebabkan munculnya anggapan bahwa disfungsi seksual bukanlah suatu gangguan yang mengancam jiwa," jelas dokter yang sekarang bertugas sebagai kepala Klinik Utan Kayu di FK UI tersebut.
Kayika menuturkan, rendahnya persepsi tersebut mengakibatkan disfungsi atau gangguan seksual pada perempuan tidak dianggap sebagai penyakit. Lantas, bagaimana bentuk-bentuk disfungsi seksual pada perempuan yang barstatus pengantin baru? Kayika membeberkan, disfungsi seksual tersebut bisa digolongkan menjadi empat macam.
Pertama, gangguan dorongan seksual atau desire. "Banyak orang mengistilahkan libido," katanya. Pada kondisi tersebut, perempuan ogah atau sulit "bangun" untuk memulai hubungan intim dengan pasangan. Perempuan menunggu "diganggu" pasangannya dulu.
Kedua, disfungsi seksual yang dia sebut sebagai gangguan kebangkitan seksual atau aruasal. Secara sederhana, dia menjelaskan bahwa perempuan yang mengalami disfungsi seksual jenis itu tidak mudah terangsang. "Sudah lama dirangsang, tetapi tidak basah-basah (tidak terjadi lubrikasi atau perlendiran vagina, Red)," terang dia.
Ketiga, disfungsi seksual yang berwujud gangguan orgasme. Perempuan dengan disfungsi seksual jenis itu saat melakukan sanggama atau coitus tidak bisa menikmati puncak hubungan intim.
Keempat, disfungsi seksual berupa nyeri seksual. Kayika menuturkan, perempuan yang mengalami nyeri seksual itu tidak bakal bisa mencapai orgasme. "Selama berhubungan intim, perempuan hanya merasakan kesakitan," papar dia.
Dari empat bentuk disfungsi seksual tersebut, Kayika menetapkan dua biang keladi yang dominan. Pertama, perempuan itu sebelum menikah pernah mengalami trauma seksual. Kedua, perempuan tersebut mengalami depresi. "Mengalami salah satu saja di antara dua faktor itu berisiko disfungsi seksual," ucap dia.
Berbekal hasil penelitian tersebut, Kayika mengharapkan perempuan lebih giat lagi berkonsultasi tentang seks sebelum menikah. Konsultasi itu dilakukan untuk menggali apakah perempuan yang bersangkutan pernah mengalami trauma seksual atau depresi. Sebab, jelas Kayika, faktor tersebut bisa diselesaikan dengan bantuan psikolog atau psikiater.
Berapa lama? Kayika tidak bisa menentukan lamanya. "Waktu penyembuhan relatif. Bergantung seberapa besar trauma atau depresi yang pernah dialami," tegas dia.
Kayika mengingatkan, semakin cepat diketahui, faktor-faktor yang bisa memicu disfungsi seksual tersebut bisa segera ditangani. Kayika juga mengharapkan perempuan bisa menyelesaikan persoalan itu sebelum menikah. Dengan begitu, peluang munculnya disfungsi seksual setelah menikah bisa ditekan. Dia berpandangan bahwa hubungan seks dalam rumah tangga merupakan unsur penting untuk meningkatkan hubungan dan kualitas hidup.
Kayika juga berpesan supaya pemerintah lebih gencar mengampanyekan kesadaran masyarakat untuk menata kesehatan seksual sebelum menikah. Pemerintah, menurut dia, masih memegang peran penting dalam persoalan itu. Sebab, layanan konsultasi pranikah sampai saat ini masih tersebar di kota-kota besar. Ke depan, setiap petugas KUA diharapkan memegang brosur tentang cara mengatasi disfungsi seksual, terutama pada perempuan. (c11/kum)
KAYIKA bernapas lega. Dia pun tersenyum bahagia. Itu terjadi ketika namanya dinyatakan lulus oleh Prof Pratiwi Puji Lestari Sudarmono SpMK dan berhak menyandang gelar doktor.
Pengumuman kelulusan tersebut seakan menjadi gong dalam acara ujian terbuka program doktoral di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) kemarin. Siang itu, sekitar pukul 11.30, Ruang Sena Pratisa Sutomo Tjokronegoro di departemen patologi anatomi menjadi saksi lahirnya seorang doktor baru, I Putu Gede Kayika.
Sesudah ujian terbuka, Kayika mendapat ucapan selamat dari sekitar 20-an undangan yang hadir. Dia didampingi istrinya, Made Sudarmini, serta tiga anaknya, Ni Putu Galuh Wibhutisari, Ni Made Uning Elingasari, dan I Nyoman Karmani Kaynanda. "Terima kasih, terima kasih." Kata-kata itu selalu diucapkan oleh Kayika setiap kali disalami teman-temannya.
Saat ditemui Jawa Pos, spesialis kandungan dan kebidanan dari Denpasar tersebut menjelaskan secara panjang lebar penelitiannya. "Penelitian itu berawal dari ketertarikan saya terhadap perilaku para perempuan yang menghadapi masa-masa pranikah," tutur pria 47 tahun itu.
Menurut dia, para perempuan tersebut cenderung menyepelekan berbagai persiapan yang seharusnya sudah dimatangkan sebelum hari H pernikahan. Kalaupun ada bantuan jasa layanan pranikah, menurut Kayika, itu sebatas menata dari sisi spiritual si perempuan dan pasangannya.
"Padahal, orang menikah itu bukan hanya urusan spiritual, tapi juga mental dan kesehatan," tutur dokter yang mengawali karirnya sebagai dokter puskesmas di Kalimantan Selatan tersebut.
Salah satu yang menjadi konsentrasi Kayika adalah urusan seksual. Dia menjelaskan, masa-masa pengantin baru merupakan waktu yang cukup penting bagi perempuan. Masa yang cukup penting itu bisa rusak gara-gara persiapan pranikah yang tidak matang.
Kayika menambahkan, budaya yang berkembang di masyarakat kita masih memandang tabu kegiatan mengonsultasikan persoalan disfungsi seksual. "Terutama bagi perempuan," ujar dia. "Karena itu, penelitian saya tersebut lebih berfokus pada disfungsi seksual pada perempuan pengantin baru," ungkap dia.
Dalam penelitian itu, Kayika menggunakan 94 perempuan yang akan menikah sebagai responden. Bagaimana cara dia mengumpulkan puluhan perempuan itu" Kayika menyatakan menggali data dari delapan KUA (kantor urusan agama) di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat. Demi penelitian itu, Kayika mendampingi seluruh repondennya hingga tiga bulan setelah menikah.
Kala menggali data dari para responden, Kayika juga menemukan hambatan. "Mereka cenderung tertutup. Tapi, itu sudah dipertimbangkan," terang dia.
Cara mengatasinya, Kayika mengumpulkan seluruh reponden dalam sebuah seminar. Di acara tersebut, dia meyakinkan para responden itu bahwa informasi yang mereka berikan bisa mengatasi persoalan seksual orang lain. "Akhirnya, mereka bersedia," kata dia. Para responden itu akhirnya bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan Kayika tentang urusan hubungan ranjang setelah mereka menikah.
Melalui penelitian yang menggunakan alat ukur female sexual function index (FSFI) dan memperhitungkan distress (jenis stres negatif) pribadi, Kayika menengarai 19,1 persen atau sekitar 17 perempuan di antara 94 responden pada masa pengantin baru mengalami disfungsi seksual.
Celakanya, dari jumlah tersebut, hanya seperempatnya yang mempersepsikan diri mengalami disfungsi seksual. "Persepsi yang rendah itu bisa disebabkan munculnya anggapan bahwa disfungsi seksual bukanlah suatu gangguan yang mengancam jiwa," jelas dokter yang sekarang bertugas sebagai kepala Klinik Utan Kayu di FK UI tersebut.
Kayika menuturkan, rendahnya persepsi tersebut mengakibatkan disfungsi atau gangguan seksual pada perempuan tidak dianggap sebagai penyakit. Lantas, bagaimana bentuk-bentuk disfungsi seksual pada perempuan yang barstatus pengantin baru? Kayika membeberkan, disfungsi seksual tersebut bisa digolongkan menjadi empat macam.
Pertama, gangguan dorongan seksual atau desire. "Banyak orang mengistilahkan libido," katanya. Pada kondisi tersebut, perempuan ogah atau sulit "bangun" untuk memulai hubungan intim dengan pasangan. Perempuan menunggu "diganggu" pasangannya dulu.
Kedua, disfungsi seksual yang dia sebut sebagai gangguan kebangkitan seksual atau aruasal. Secara sederhana, dia menjelaskan bahwa perempuan yang mengalami disfungsi seksual jenis itu tidak mudah terangsang. "Sudah lama dirangsang, tetapi tidak basah-basah (tidak terjadi lubrikasi atau perlendiran vagina, Red)," terang dia.
Ketiga, disfungsi seksual yang berwujud gangguan orgasme. Perempuan dengan disfungsi seksual jenis itu saat melakukan sanggama atau coitus tidak bisa menikmati puncak hubungan intim.
Keempat, disfungsi seksual berupa nyeri seksual. Kayika menuturkan, perempuan yang mengalami nyeri seksual itu tidak bakal bisa mencapai orgasme. "Selama berhubungan intim, perempuan hanya merasakan kesakitan," papar dia.
Dari empat bentuk disfungsi seksual tersebut, Kayika menetapkan dua biang keladi yang dominan. Pertama, perempuan itu sebelum menikah pernah mengalami trauma seksual. Kedua, perempuan tersebut mengalami depresi. "Mengalami salah satu saja di antara dua faktor itu berisiko disfungsi seksual," ucap dia.
Berbekal hasil penelitian tersebut, Kayika mengharapkan perempuan lebih giat lagi berkonsultasi tentang seks sebelum menikah. Konsultasi itu dilakukan untuk menggali apakah perempuan yang bersangkutan pernah mengalami trauma seksual atau depresi. Sebab, jelas Kayika, faktor tersebut bisa diselesaikan dengan bantuan psikolog atau psikiater.
Berapa lama? Kayika tidak bisa menentukan lamanya. "Waktu penyembuhan relatif. Bergantung seberapa besar trauma atau depresi yang pernah dialami," tegas dia.
Kayika mengingatkan, semakin cepat diketahui, faktor-faktor yang bisa memicu disfungsi seksual tersebut bisa segera ditangani. Kayika juga mengharapkan perempuan bisa menyelesaikan persoalan itu sebelum menikah. Dengan begitu, peluang munculnya disfungsi seksual setelah menikah bisa ditekan. Dia berpandangan bahwa hubungan seks dalam rumah tangga merupakan unsur penting untuk meningkatkan hubungan dan kualitas hidup.
Kayika juga berpesan supaya pemerintah lebih gencar mengampanyekan kesadaran masyarakat untuk menata kesehatan seksual sebelum menikah. Pemerintah, menurut dia, masih memegang peran penting dalam persoalan itu. Sebab, layanan konsultasi pranikah sampai saat ini masih tersebar di kota-kota besar. Ke depan, setiap petugas KUA diharapkan memegang brosur tentang cara mengatasi disfungsi seksual, terutama pada perempuan. (c11/kum)