https://catatanseorangahligizi.wordpress.com/2012/01/06/stunting/
dikutip dari http://www.gizikia.depkes.go.id
UMUR SAMA,,TINGGI BADAN BERBEDA…..
Mengapa stunting menjadi penting? Selain karena jumlahnya yang cukup tinggi di Indonesia, ternyata stunting menggambarkan kejadian kurang gizi pada balita yang berlangsung dalam waktu yang lama dan dampaknya yang bukan hanya secara fisik, tetapi justru pada fungsi kognitif .
Apa yang dimaksud dengan stunting dan bagaimana cara mengukurnya ?
Bila kita merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian Pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely
Dengan kata lain stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita seumurnya.
Bagaimana sebaran balita pendek di Indonesia ?
Pendek dan sangat pendek menggambarkan bahwa kita masih menghadapi masalah gizi kurang kronis.
Dari hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, walaupun prevalensi gizi kurang dan buruk telah mengalami penurunan dari 18,4% tahun 2007 menjadi 17,9% tahun 2010, namun kita masih memiliki 35,6% balita pendek. Prevalensi Balita pendek terdiri dari sangat pendek 18,5% dan pendek 17,1%. Penurunan terjadi pada balita pendek dari 18,0% menjadi 17,1% dan balita sangat pendek dari 18,8% menjadi 18,5%.
Kita masih harus bekerja keras mengatasi stunting ini, karena batas non public health yang ditetapkan WHO, 2005 adalah 20%, sedangkan saat ini prevalensi balita pendek di seluruh propinsi masih di atas 20%. Artinya semua propinsi masih dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat.
Mengacu pada Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, sasaran pembangunan pangan dan gizi pada tahun 2015 yaitu menurunkan prevalensi gizi kurang balita menjadi 15,5% dan prevalensi balita pendek menjadi 32%, artinya sampai tahun 2015 kita masih harus menurunkan 3,6%. Walaupun secara nasional belum mencapai target prevalensi balita pendek, namun sudah ada 11 propinsi yang sudah berhasil mencapai target yaitu Jambi (30,2%), Bangka Belitung (29,0%), Bengkulu (31,6%), Kepulauan Riau (26,9%), DKI Jakarta (26,6%), DI. Yogyakarta (22,5%), Bali (29,3%), Kalimantan Timur (29,1%), Sulawesi Utara (27,8%), Maluku Utara (29,4%) dan Papua (28,3%).
Apakah gizi buruk disebabkan stunting. Memang “Tidak”., karena prevalensi Stunting kita 35,6%, sedangkan gizi buruk 4,9%.Namun anak stunting bila tidak dipantau pertumbuhannya dapat menderita gizi buruk.
Bagaimana balita pendek berkontribusi terhadap prevalensi gizi kurang ?
Dari gambar di atas, kita akan tercengang melihat banyaknya anak pendek normal (25,3%), yang kalau dikaji berdasarkan berat badan menurut umur sebenarnya beratnya di bawah normal, artinya sebagai penyumbang underweight. Tetapi karena pendek, maka anak ini tetap dikategorikan normal. Bahayanya bila intervensi dan perencanaan kita berdasarkan berat badan menurut umur dan anak ini diberikan terus Makanan Pendamping ASI, maka dia akan masuk pada kategori pendek gemuk dan hal ini menjadi bumerang lagi buat kita, karena sudah menimbulkan masalah baru, yaitu kegemukan. Dalam gambar di atas terlihat prevalensi gemuk pendek (7,6%) hampir dua kali lebih tinggi dari normal gemuk (4,8%)
Bagaimana kronologis terjadinya balita stunting ?
Terjadinya stunting pada balita seringkali tidak disadari, dan setelah dua tahun baru terlihat ternyata balita tersebut pendek Masalah gizi yang kronis pada balita disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama akibat orang tua/keluarga tidak tahu atau belum sadar untuk memberikan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi anaknya. Riskesdas 2010 menemukan bahwa ada 21,5% balita usia 2-4 tahun yang mengonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal dan 16% yang mengonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal. Dan bila ini berlangsung dalam waktu lama, maka akan mengganggu pertumbuhan berat dan tinggi badan.
Pada ibu hamil juga terdapat 44,4% yang mengonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal dan 49,5% wanita hamil yang mengonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal yang berdampak pada terhambatnya pertumbuhan janin yang dikandungnya.
Selain asupan yang kurang, seringnya anak sakit juga menjadi penyebab terjadinya gangguan pertumbuhan. Sanitasi lingkungan mempengaruhi tumbuh kembang anak melalui peningkatan kerawanan anak terhadap penyakit infeksi. Anak yang sering sakit akibat rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan kronis dan berdampak anak menjadi pendek.
Dari hasil Riskesdas, 2010 lebih dari setengah (54,9%) masyarakat kita memiliki akses sumber air minum tidak terlindung. Hanya 55,5% masyarakat yang terakses dengan sanitasi, di perkotaan 71,4% dan pedesaan 38,5%. Penanganan sampah di masyarakat 52% dibakar dan penggunaan bahan bakar arang dan kayu bakar 40,0%. Selain itu juga ternyata Dua dari 3 perokok kita (76,7%) merokok di rumah dan dampak dari semua ini berpotensi menyebabkan penyakit diare dan gangguan pernapasan pada balita.
Pendidikan ayah ternyata berdampak pada status ekonomi keluarga. Dari gambar di atas terlihat bahwa keluarga dengan pendidikan SD, pekerjaan tani, nelayan dan buruh serta status ekonomi paling rendah sangat berhubungan dengan tingginya prevalensi balita pendek. Artinya selain status gizi ibu yang pendek, faktor pendidikian yang berdampak pada status ekonomi keluarga sangat terkait dengan kejadian balita pendek. Keluarga yang berpendidikan akan memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan, sehingga lebih terakses terhadap informasi khususnya yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi keluarganya.
Untuk status gizi orang tua, ternyata status gizi ibu yang sangat berkaitan dengan kejadian balita pendek. Terlihat dari ibu yang pendek sekalipun ayah normal, prevalensi balita pendek pasti tinggi, tetapi sekalipun ayah pendek tetapi ibu normal, prevalensi balita pendek masih lebih rendah disbanding ibunya yang pendek. Artinya status gizi ibu yang akan menjadi ibu hamil yang sangat menentukan akan melahirkan balita pendek.
Stunting merupakan indikator keberhasilan kesejahteraan, pendidikan dan pendapatan masyarakat. Dampaknya sangat luas mulai dari dimensi ekonomi, kecerdasan, kualitas, dan dimensi bangsa yang berefek pada masa depan anak.
Hampir 70% pembentukan sel otak terjadi sejak janin masih dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun. Jika otak mengalami hambatan pertumbuhan, jumlah sel otak, serabut sel otak, dan penghubung sel otak berkurang. Dilihat dari tingkat keparahannya, anak usia 3 tahun yang stunting severe (-3-2).
Hal ini mengakibatkan penurunan intelegensia (IQ), sehingga prestasi belajar menjadi rendah dan tidak dapat melanjutkan sekolah. Bila mencari pekerjaan, peluang gagal tes wawancara pekerjaan menjadi besar dan tidak mendapat pekerjaan yang baik, yang berakibat penghasilan rendah (economic productivity hypothesis) dan tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan. Karena itu anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan, produktivitas dan prestasinya kelak setelah dewasa, sehingga akan menjadi beban negara. Selain itu dari aspek estetika, seseorang yang tumbuh proporsional akan kelihatan lebih menarik dari yang tubuhnya pendek.
Strategi apa yang paling tepat untuk mencegah terjadinya balita stunting ini ?
Berbagai upaya telah kita lakukan dalam mencegah dan menangani masalah gizi di masyarakat. Memang ada hasilnya, tetapi kita masih harus bekerja keras untuk menurunkan prevalensi balita pendek sebesar 2,9% agar target MD’s tahun 2014 tercapai yang berdampak pada turunnya prevalensi gizi kurang pada balita kita.
Bagaimana caranya ?
Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur, namun pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Jika terjadi gangguan pertumbuhan tinggi badan pada balita, maka untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan optimalnya masih bisa diupayakan, sedangkan anak usia sekolah sampai remaja relatif kecil kemungkinannya. Maka peluang besar untuk mencegah stunting dilakukan sedini mungkin. dengan mencegah faktor resiko gizi kurang baik pada remaja putri, wanita usia subur (WUS), ibu hamil maupun pada balita. Selain itu, menangani balita yang dengan tinggi dan berat badan rendah yang beresiko terjadi stunting, serta terhadap balita yang telah stunting agar tidak semakin berat.
Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam kandungandengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6 bulan (eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup gizi, juga diberi suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A. Kejadian stunting pada balita yang bersifat kronis seharusnya dapat dipantau dan dicegah apabila pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan secara rutin dan benar. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan, sehingga dapat dilakukan pencegahan terjadinya balita stunting.
Bersama dengan sektor lain meningkatkan kualitas sanitasi lingkungan dan penyediaan sarana prasarana dan akses keluarga terhadap sumber air terlindung, serta pemukiman yang layak. Juga meningkatkan akses keluarga terhadap daya beli pangan dan biaya berobat bila sakit melalui penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.
Peningkatan pendidikan ayah dan ibu yang berdampak pada pengetahuan dan kemampuan dalam penerapan kesehatan dan gizi keluarganya, sehingga anak berada dalam keadaan status gizi yang baik. Mempermudah akses keluarga terhadap informasi dan penyediaan informasi tentang kesehatan dan gizi anak yang mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh setiap keluarga juga merupakan cara yang efektif dalam mencegah terjadinya balita stunting.
FOKUS KITA
Jika kita berhasil menurunkan prevalensi pendek (TB/U) 1% akan diikuti penurunan prevalensi berat kurang (BB/U) 0,5%, sehingga pada untuk tahun 2011-2014 dengan penurunan 4% prevalensi balita pendek dapat menurunkan 2% prevalensi balita berat kurang. Artinya pada tahun 2015, target MDG’s prevalensi balita pendek sebesar 32% dapat tercapai, karena kita berhasil menurunkan 35,6% menjadi 31,6%.
Renungan bagi kita, apakah upaya yang kita lakukan sudah “fokus” ?