July 20, 2007 //
Mi instan yang sudah dikenal masyarakat dengan sebutan indomie (bukan nama produk, tapi genre produk) tentu saja mempunyai efek bagi kesehatan.
Yah sebenarnya semua produk pasti punya efek samping tapi indomie ini bisa dibilang paling rentan terhadap gosip. Nah, biar gak bingung, kita langsung selidiki saja. Yuk!
Artikel dari Info-Sehat mempunyai informasi tentang kandungan nutrisi dari mi instan:
Mi instan belum dapat dianggap sebagai makanan penuh (wholesome food) karena belum mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang bagi tubuh. Mi yang terbuat dari terigu mengandung karbohidrat dalam jumlah besar, tetapi kandungan protein, vitamin, dan mineralnya hanya sedikit. Pemenuhan kebutuhan gizi mi instan dapat diperoleh jika ada penambahan sayuran dan sumber protein. Jenis sayuran yang dapat ditambahkan adalah wortel, sawi, tomat, kol, atau tauge. Sumber proteinnya dapat berupa telur, daging, ikan, tempe, atau tahu.Satu takaran saji mi instan yang berjumlah 80 gram dapat menyumbangkan energi sebesar 400 kkal, yaitu sekitar 20% dari total kebutuhan energi harian (2.000 kkal). Energi yang disumbangkan dari minyak berjumlah sekitar 170-200 kkal. Hal lain yang kurang disadari adalah kandungan minyak dalam mi instan yang dapat mencapai 30% dari bobot kering. Hal tersebut perlu diwaspadai bagi penderita obesitas atau mereka yang sedang menjalani program penurunan berat badan.
Nah loo… ternyata mi instan bukan cuma kandungan nutrisinya yang kurang, tapi juga bisa merugikan bagi mereka2 yang, uhm… gendut kali yeee…
Informasi selanjutnya juga memberikan peringatan bagi mereka yang menderita hipertensi, maag, dan autisme:
Kelemahan dari konsumsi mi instan adalah kandungan natriumnya yang tinggi. Natrium yang terkandung dalam mi instan berasal dari garam (NaCl) dan bahan pengembangnya. Bahan pengembang yang umum digunakan adalah natrium tripolifosfat, mencapai 1% dari bobot total mi instan per takaran saji. Natrium memiliki efek yang kurang menguntungkan bagi penderita maag dan hipertensi. Bagi penderita maag, kandungan natrium yang tinggi akan menetralkan lambung, sehingga lambung akan mensekresi asam yang lebih banyak untuk mencerna makanan. Keadaan asam lambung yang tinggi akan berakibat pada pengikisan dinding lambung dan menyebabkan rasa perih. Sedangkan bagi penderita hipertensi, natrium akan meningkatkan tekanan darah karena ketidakseimbangan antara natrium dan kalium (Na dan K) di dalam darah dan jaringan.
Kelemahan lain mi instan adalah tidak dapat dikonsumsi oleh penderita autisme. Hal tersebut disebabkan karena mi instan mengandung gluten, substansi yang tidak boleh dikonsumsi oleh penderita autisme.
Artikel Agus Rakasiwi dari Pikiran Rakyat menambahkan bahwa mi instan membuat kita lebih cepat lapar daripada makan nasi:
Namun, sifat karbohidrat dalam mi berbeda dengan sifat yang terkandung di dalam nasi. Sebagian karbohidrat dalam nasi merupakan karbohidrat kompleks yang memberi efek rasa kenyang lebih lama. Sedangkan karbohidrat dalam mi instan sifatnya lebih sederhana sehingga mudah diserap. Akibatnya, mi instan memberi efek lapar lebih cepat dibanding nasi.
Dan untuk makan mi instan “dengan baik,” sebaiknya diberi lauk-pauk yang lain terutama sayuran yang berserat:
Namun, untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam tubuh, satu bungkus mi belumlah cukup. Jika melihat iklan di layar televisi, cara makan mi yang baik adalah dengan menambah menu yang berasal dari bahan dasar hewani dan sayur-sayuran berserat.
Iklan mi di layar kaca menampilkan kebiasaan orang makan mi instan dengan tambahan menu seperti ayam, ikan, telur, kangkung, wortel, dan kapri. Pada bungkus mi pun terdapat gambar penyajian mi dengan menu tadi. Lalu apakah ini sekadar menarik perhatian ? Tentu saja tidak.
Bahan dasar hewani menyediakan sumber protein, sedangkan sayur-sayuran berserat dapat menambah vitamin. Selain itu, sayuran berserat berperan pula untuk menetralisasi kandungan lemak.
Menurut seorang ahli gizi klinik, Juniarta Alidjaja, orang yang kebanyakan makan mi instan tanpa diimbangi makanan berserat berpotensi mengalami gangguan kesehatan. Hal ini karena mi mengandung karbohidrat sederhana, lemak, dan kadar natrium tinggi. Misalnya obesitas, kenaikan kadar gula darah, kenaikan tensi tubuh dan lain-lain.
Oh iya, dulu pernah ada isu lilin di mi instan. Ternyata itu tidak benar:
Mengenai isu lilin pada mi instan, Badan POM mengatakan tidak menemukan adanya bahan tersebut. Mengenai penggunaan lilin ini pun dibantah oleh salah satu produsen mi instan di Indonesia, PT Indofood. “Geletinasasi pada mi disebabkan mi dibuat dengan pengukusan dan penggorengan. Jadi, isu lilin kan isu lama yang tidak benar,” kata Siegfried, Public Relation PT Indofood cabang Jawa Barat.
Sanggahan dari Billy N. ini membantah isu yang pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat:
Menanggapi artikel yang ditulis oleh Bpk.Agus Rakasiwi, ‘Hindari Makan Mi Instan Setiap Hari’ di ‘PR’ hari Kamis, 2 November 2006 halaman 21 (’Kampus’). Ada beberapa kesalahan yang fatal dimuat di artikel tersebut yang dibaca oleh sangat banyak orang.
Saya tahu kalau artikel tersebut bertujuan baik, namun banyak isi artikel tersebut yang dikutip dari sumber-sumber yang tidak jelas, termasuk e-mail yang di-forward dari milis ke milis yang isinya sebagian besar adalah bohong & penulisnya tidak jelas (tergolong ’spam’), misalnya soal isu mi instan yang dilapisi lilin, padahal setahu saya, itu sama sekali tidak benar.
Kalau betul begitu, maka di air rebusan mi instan ketika dimasak akan ‘mengapung’ lilin cair. Juga, di daftar komposisi mi tidak dicantumkan apapun yang berkaitan dengan lilin.
Terlepas dari segi kesehatannya, mi instan sendiri sering menimbulkan cerita yang unik dan menarik bahkan tragis, misalnya gontok-gontokan gara-gara mi instan:
Ketua Kloter 31 SOC menceritakan pengalamannya. Saat mengambil jatah mi instan bagi kloter 31, dia melihat jemaah haji saling berebut. Lebih parah lagi, beberapa jemaah cekcok mulut dan adu fisik untuk mendapatkan mi instan. ”Saya membayangkan risiko murka Tuhan yang melihat hamba-Nya berebut mi instan di tanah haram dan mustajab di Arafah,” ujarnya.
Suasana tegang masih terus berlanjut. Saat itu, rombongan penulis sedang tafakur bersama untuk memanjatkan doa kepada Allah di tempat mustajab ini. Tak jauh dari tempat itu ada kelompok jemaah haji tengah bagi-bagi mi instan, dan ternyata ada yang tidak kebagian.
Ketua rombongannya mengumumkan, siapa yang dapat jatah double harap mengembalikannya. Dosa bagi siapa saja yang mengambil jatah orang lain. Suasana seperti ini terus berlanjut hingga rebutan air panas untuk merebus mi instan.
Sebagai pelengkap dan penutup, mari kita simak cerita lucu ini dari duy’s blog
Tapi semuanya itu tidak sedahsyat kejadian di kedai indomie ketika beberapa orang teman gue nongkrong di kedai kopi kecil di Lhok Bubon, Samatiga, Aceh Barat. Seorang ibu-ibu paruh baya yang baik hati tampak siap sedia menyambut kedatangan mereka dan mungkin terkejut juga karena jarang kedatangan sebegitu banyak tamu. Sebenarnya tidak banyak sih, hanya sekitar 5 orang.Pertama datanglah si Rudy dan Yuda. Rudy bertanya sama Yuda, ‘Mau indomie?’. Setelah Yuda mengiyakan, Rudy memesanlah kepada si Ibu Kedai, ‘Indomie-nya dua ya bu.’ Lalu si Ibu bertanya lagi, ‘Ini indomie pakai mangkuk atau pakai piring?’ Bingunglah mereka. Apa bedanya ya? Si ibu pun tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata yang tepat. Akhirnya dengan menebak-nebak asal mereka pun memilih memakai mangkuk.
Akhirnya sang indomie datang. Yak betul sih 2, tapi ternyata 2 indomie untuk satu orang. Jadi total ada 4 indomie termasak. Walau dengan berbengong-bengong hati mereka tetep makan Indomie itu. Setelah melihat kanan kiri, mereka bisa sedikit menyimpulkan bahwa kalau indomie pakai mangkuk itu artinya indomie yang dimasak biasa. Sedangkan kalau pakai piring artinya indomie itu akan dimasak ulang dengan menggunakan bumbu-bumbu khas Aceh.
Lalu datanglah satu orang teman lagi, Alol kalau nggak salah. Alol melihat ada banyak indomie (dan setelah diceritakan perbedaan antara mangkuk dan piring) memutuskan untuk ikut makan mie jadi dia minta piring kosong aja satu. ‘Bu, bisa minta piring kosong?’ Tak dinyana si Ibu berkata, ‘Tidak ada piring disini, kami makan pakai mangkuk. Kami kan pengungsi jadi tidak punya piring’. Lho?? Padahal didekat situ jelas-jelas terlihat ada piring dan si Ibu pun kan sebelumnya menawarkan pakai piring?
Lalu datang lagi si Rubby. Dia pesan indomie pakai telor. Asumsinya, jika indomie pakai telor, maka telor akan dimasak. Tapi ternyata salah. Indomie datang lengkap dengan telor. Telor bulat. Rubby berpikir, ‘Oh telornya direbus’. Dengan asyiknya dia memecah telor itu dan PLUK. Telornya tumpah. Ternyata telurnya masih mentah sodara-sodara. Ketika ditanyakan kembali ke si Ibu, beliau hanya menjawab manis yang kira-kira terjemahannya begini, ‘Lho, kan tadi katanya indomie pakai telor, kamu nggak bilang telornya harus matang kan?’