http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1108523450,51247,
Rabu, 16 Februari, 2005 oleh: Gsianturi
Gizi.net - Mi, Lezat Bergizi tetapi Rawan Formalin!
Oleh Prof. DR. Made Astawan, Ahli Teknologi Pangan dan Gizi
Mi basah rawan terhadap penambahan formalin dan boraks. Zat kimia ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan.
Sayangnya, kandungan formalin dan boraks hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan laboratorium.
Mi pertama kali dibuat dan berkembang di Cina. Teknologi pembuatan mi disebarkan oleh Marcopolo ke Italia, hingga ke seluruh daratan Eropa. Kini mi populer di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Mi yang beredar di Indonesia terdiri dari empat jenis, yaitu mi mentah, mi basah, mi kering, dan mi instan. Keempat jenis tersebut mempunyal pasar sendiri-sendiri, dengan jumlah permintaan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Di Indonesia, mi digemari herbagai kalangan, mulai anak-anak hingga lanjut usia. Alasannya. sifat mi yang enak, praktis, dan mengenyangkan.
Kandungan karbohidrat yang tinggi, menjadikan mi digunakan sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi. Mi dapat diolah menjadi berbagai produk seperti mi baso, mi goreng, soto mi, mi ayam, dan lain sebagainyaa.
Seiring perkembangan teknologi dan semakin meningkatnya kesadaran orang akan gizi, sekarang ini mi tidak hanya dijadikan sebagai penyuplai energi, melainkan juga sebagai sumber zat gizi lain. Berbagai vitamin dan mineral dapat difortifikasikan ke dalam mi. seperti yang sering kita jumpai pada pembuatan mi instan.
Walaupun demikian, kecukupan zat gizi belum dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan sebungkus mi. Kombinasi dengan sayuran dan sumber protein perlu dilakukan dalam upaya mendongkrak kelengkapan komposisi gizi ini.
Nilai Gizi
Diversifikasi konsumsi pangan terutama dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras.
Saat ini persediaan beras di Indonesia mulai menipis, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin banyaknya lahan persawahan yang digunakan sebagai pemukiman.
Berdasarkan kandungan gizinya, mi merupakan bahan pangan yang berpotensi besar untuk dijadikan sebagai produk diversifikasi. Kandungan gizi mi sudah dapat mencukupi sebagai pengganti beras.
Sebungkus mi instan yang beratnya 75 gram (lengkap dengan minyak dan bumbu), serta ditambah dengan sayuran dan protein dari luar, dapat diandalkan untuk sarapan pagi. Untuk makan siang, porsinya perlu dinaikkan menjadi dua bungkus.
Terdapat beberapa kelemahan dalam produk-produk mi. Umumnya mi sedikit sekali mengandung serat (dietary fiber) serta vitamin B dan E. Komposisi bahan mi instan belakangan ini sudah semakin komplet. Beberapa merek mi instan telah dilengkapi dengan serat, sedikit sayuran, dan irisan daging kering, serta vitamin B dan E. Namun, kita tetap saja perlu menambahkan bahan-bahan lain dari luar, terutama sayuran dan sumber protein, agar nilai gizinya menjadi semakin baik.
Murah, Meski Berbahaya
Sayangnya, tingkat pengetahuan yang rendah mengenai bahan pengawet merupakan faktor utama penyebab penggunaan formalin dan boraks pada mi.
Beberapa survei menunjukkan, alasan produsen menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet karena daya awet dan mutu mi yang dihasilkan menjadi lebih bagus, serta murah harganya, tanpa peduli bahaya yang dapat ditimbulkan.
Hal tersebut ditunjang oleh perilaku konsumen yang cenderung untuk membeli makanan yang harganya murah, tanpa mengindahkan kualitas. Dengan demikian, penggunaan formalin dan boraks pada mi dianggap hal biasa. Sulitnya membedakan biasa dan mi yang dibuat dengan penambahan formalin dan boraks, juga menjadi salah satu faktor pendorong perilaku konsumen tersebut.
Deteksi formalin dan boraks secara akurat hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan menggunakan bahan-bahan kimia, yaitu melalui uji formalin dan uji boraks.
Untuk itu, perlu dilakukan upaya peningkatan kesadaran dan pengetahuan bagi produsen dan konsumen tentang bahaya pemakaian bahan kimia yang bukan termasuk kategori bahan tambahan pangan. Selain itu, diperlukan sikap pemerintah yang lebih tegas dalam melarang penggunaan kedua jenis pengawet tersebut pada produk pangan.
Bisa Menimbulkan Keracunan & Kematian
Mi basah digunakan untuk produk makanan seperti mi baso, mi soto bogor, mi goreng, ataupun pada pembuatan makanan camilan. Kadar air mi basah tergolong tinggi, sehingga daya awetnya rendah.
Penyimpanan mi basah pada suhu kamar selama 40 jam menyebabkan tumbuhnya kapang.
Untuk itu, dalam pembuatan mi basah diperlukan bahan pengawet agar mi bisa bertahan lebih lama. Mungkin karena faktor ketidaktahuan banyak produsen yang menggunakan formalin atau boraks sebagai pengawet. Selain memberikan daya awet, kedua bahan tersebut juga murah harganya dan dapat memperbaiki kualitas mi.
Menurut beberapa produsen, penggunaan boraks pada pembuatan mi akan menghasilkan tekstur yang lebih kenyal. Sementara itu, penggunaan formalin akan menghasilkan mi yang lebih awet, yaitu dapat disimpan hingga 4 hari.
Laporan Badan POM tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 29 sampel mi basah yang dijual di pasar dan supermarket Jawa Barat, ditemukan 2 sampel (6,9 persen) mengandung boraks, 1 sampel (3,45 persen) mengandung formalin, sedangkan 22 sampel (75,8 persen) mengandung formalin dan boraks. Hanya empat sampel yang dinyatakan aman dari formalin dan borak.
Isu penggunaan formalin dan boraks tentu saja sangat meresahkan masyarakat. Kedua bahan tersebut jelas-jelas bukan termasuk kategori bahan tambahan pangan (food additives), sehingga sangat dilarang penggunaannya pada pangan apa pun. Kedua bahan tersebut dilarang penggunaannya karena bersifat racun terhadap konsumennya.
Menurut Winarno dan Rahayu (1994), pemakaian formalin pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Gejala yang biasa timbut antara lain sukar menelan, sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan peredaran darah.
Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah), dan haimatomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian Injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 3 jam.
Boraks juga dapat menimbulkan efek racun pada manusia, tetapi mekanisme toksisitasnya berbeda dengan formalin. Toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung dirasakan oleh konsumen. Boraks yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh tubuh dan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak, atau testis (buah zakar), sehingga dosis boraks dalam tubuh menjadi tinggi (Winarno dan Rahayu, 1994).
Pada dosis cukup tinggi, boraks dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, dan kram perut. Bagi anak kecil dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya mencapai 5 gram atau lebih, akan menyebabkan kematian. Pada orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya telah mencapai 10 - 20 g atau lebih.@
Sumber:
http://www.kompas.co.id
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment