Wednesday, February 27, 2008

Efek Mi Instan Bagi Kesehatan

http://www.hendyirawan.com/category/cooking/

Mi instan yang sudah dikenal masyarakat dengan sebutan indomie (bukan nama produk, tapi genre produk) tentu saja mempunyai efek bagi kesehatan.

Yah sebenarnya semua produk pasti punya efek samping tapi indomie ini bisa dibilang paling rentan terhadap gosip. Nah, biar gak bingung, kita langsung selidiki saja. Yuk!

Artikel dari Info-Sehat mempunyai informasi tentang kandungan nutrisi dari mi instan:

Mi instan belum dapat dianggap sebagai makanan penuh (wholesome food) karena belum mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang bagi tubuh. Mi yang terbuat dari terigu mengandung karbohidrat dalam jumlah besar, tetapi kandungan protein, vitamin, dan mineralnya hanya sedikit. Pemenuhan kebutuhan gizi mi instan dapat diperoleh jika ada penambahan sayuran dan sumber protein. Jenis sayuran yang dapat ditambahkan adalah wortel, sawi, tomat, kol, atau tauge. Sumber proteinnya dapat berupa telur, daging, ikan, tempe, atau tahu.Satu takaran saji mi instan yang berjumlah 80 gram dapat menyumbangkan energi sebesar 400 kkal, yaitu sekitar 20% dari total kebutuhan energi harian (2.000 kkal). Energi yang disumbangkan dari minyak berjumlah sekitar 170-200 kkal. Hal lain yang kurang disadari adalah kandungan minyak dalam mi instan yang dapat mencapai 30% dari bobot kering. Hal tersebut perlu diwaspadai bagi penderita obesitas atau mereka yang sedang menjalani program penurunan berat badan.

Nah loo… ternyata mi instan bukan cuma kandungan nutrisinya yang kurang, tapi juga bisa merugikan bagi mereka2 yang, uhm… gendut kali yeee…

Informasi selanjutnya juga memberikan peringatan bagi mereka yang menderita hipertensi, maag, dan autisme:

Kelemahan dari konsumsi mi instan adalah kandungan natriumnya yang tinggi. Natrium yang terkandung dalam mi instan berasal dari garam (NaCl) dan bahan pengembangnya. Bahan pengembang yang umum digunakan adalah natrium tripolifosfat, mencapai 1% dari bobot total mi instan per takaran saji. Natrium memiliki efek yang kurang menguntungkan bagi penderita maag dan hipertensi. Bagi penderita maag, kandungan natrium yang tinggi akan menetralkan lambung, sehingga lambung akan mensekresi asam yang lebih banyak untuk mencerna makanan. Keadaan asam lambung yang tinggi akan berakibat pada pengikisan dinding lambung dan menyebabkan rasa perih. Sedangkan bagi penderita hipertensi, natrium akan meningkatkan tekanan darah karena ketidakseimbangan antara natrium dan kalium (Na dan K) di dalam darah dan jaringan.

Kelemahan lain mi instan adalah tidak dapat dikonsumsi oleh penderita autisme. Hal tersebut disebabkan karena mi instan mengandung gluten, substansi yang tidak boleh dikonsumsi oleh penderita autisme.

Artikel Agus Rakasiwi dari Pikiran Rakyat menambahkan bahwa mi instan membuat kita lebih cepat lapar daripada makan nasi:

Namun, sifat karbohidrat dalam mi berbeda dengan sifat yang terkandung di dalam nasi. Sebagian karbohidrat dalam nasi merupakan karbohidrat kompleks yang memberi efek rasa kenyang lebih lama. Sedangkan karbohidrat dalam mi instan sifatnya lebih sederhana sehingga mudah diserap. Akibatnya, mi instan memberi efek lapar lebih cepat dibanding nasi.

Dan untuk makan mi instan “dengan baik,” sebaiknya diberi lauk-pauk yang lain terutama sayuran yang berserat:

Namun, untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam tubuh, satu bungkus mi belumlah cukup. Jika melihat iklan di layar televisi, cara makan mi yang baik adalah dengan menambah menu yang berasal dari bahan dasar hewani dan sayur-sayuran berserat.

Iklan mi di layar kaca menampilkan kebiasaan orang makan mi instan dengan tambahan menu seperti ayam, ikan, telur, kangkung, wortel, dan kapri. Pada bungkus mi pun terdapat gambar penyajian mi dengan menu tadi. Lalu apakah ini sekadar menarik perhatian ? Tentu saja tidak.

Bahan dasar hewani menyediakan sumber protein, sedangkan sayur-sayuran berserat dapat menambah vitamin. Selain itu, sayuran berserat berperan pula untuk menetralisasi kandungan lemak.

Menurut seorang ahli gizi klinik, Juniarta Alidjaja, orang yang kebanyakan makan mi instan tanpa diimbangi makanan berserat berpotensi mengalami gangguan kesehatan. Hal ini karena mi mengandung karbohidrat sederhana, lemak, dan kadar natrium tinggi. Misalnya obesitas, kenaikan kadar gula darah, kenaikan tensi tubuh dan lain-lain.

Oh iya, dulu pernah ada isu lilin di mi instan. Ternyata itu tidak benar:

Mengenai isu lilin pada mi instan, Badan POM mengatakan tidak menemukan adanya bahan tersebut. Mengenai penggunaan lilin ini pun dibantah oleh salah satu produsen mi instan di Indonesia, PT Indofood. “Geletinasasi pada mi disebabkan mi dibuat dengan pengukusan dan penggorengan. Jadi, isu lilin kan isu lama yang tidak benar,” kata Siegfried, Public Relation PT Indofood cabang Jawa Barat.

Sanggahan dari Billy N. ini membantah isu yang pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat:

Menanggapi artikel yang ditulis oleh Bpk.Agus Rakasiwi, ‘Hindari Makan Mi Instan Setiap Hari’ di ‘PR’ hari Kamis, 2 November 2006 halaman 21 (’Kampus’). Ada beberapa kesalahan yang fatal dimuat di artikel tersebut yang dibaca oleh sangat banyak orang.

Saya tahu kalau artikel tersebut bertujuan baik, namun banyak isi artikel tersebut yang dikutip dari sumber-sumber yang tidak jelas, termasuk e-mail yang di-forward dari milis ke milis yang isinya sebagian besar adalah bohong & penulisnya tidak jelas (tergolong ’spam’), misalnya soal isu mi instan yang dilapisi lilin, padahal setahu saya, itu sama sekali tidak benar.

Kalau betul begitu, maka di air rebusan mi instan ketika dimasak akan ‘mengapung’ lilin cair. Juga, di daftar komposisi mi tidak dicantumkan apapun yang berkaitan dengan lilin.

Terlepas dari segi kesehatannya, mi instan sendiri sering menimbulkan cerita yang unik dan menarik bahkan tragis, misalnya gontok-gontokan gara-gara mi instan:

Ketua Kloter 31 SOC menceritakan pengalamannya. Saat mengambil jatah mi instan bagi kloter 31, dia melihat jemaah haji saling berebut. Lebih parah lagi, beberapa jemaah cekcok mulut dan adu fisik untuk mendapatkan mi instan. ”Saya membayangkan risiko murka Tuhan yang melihat hamba-Nya berebut mi instan di tanah haram dan mustajab di Arafah,” ujarnya.

Suasana tegang masih terus berlanjut. Saat itu, rombongan penulis sedang tafakur bersama untuk memanjatkan doa kepada Allah di tempat mustajab ini. Tak jauh dari tempat itu ada kelompok jemaah haji tengah bagi-bagi mi instan, dan ternyata ada yang tidak kebagian.

Ketua rombongannya mengumumkan, siapa yang dapat jatah double harap mengembalikannya. Dosa bagi siapa saja yang mengambil jatah orang lain. Suasana seperti ini terus berlanjut hingga rebutan air panas untuk merebus mi instan.

Sebagai pelengkap dan penutup, mari kita simak cerita lucu ini dari duy’s blog :-)

Tapi semuanya itu tidak sedahsyat kejadian di kedai indomie ketika beberapa orang teman gue nongkrong di kedai kopi kecil di Lhok Bubon, Samatiga, Aceh Barat. Seorang ibu-ibu paruh baya yang baik hati tampak siap sedia menyambut kedatangan mereka dan mungkin terkejut juga karena jarang kedatangan sebegitu banyak tamu. Sebenarnya tidak banyak sih, hanya sekitar 5 orang.Pertama datanglah si Rudy dan Yuda. Rudy bertanya sama Yuda, ‘Mau indomie?’. Setelah Yuda mengiyakan, Rudy memesanlah kepada si Ibu Kedai, ‘Indomie-nya dua ya bu.’ Lalu si Ibu bertanya lagi, ‘Ini indomie pakai mangkuk atau pakai piring?’ Bingunglah mereka. Apa bedanya ya? Si ibu pun tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata yang tepat. Akhirnya dengan menebak-nebak asal mereka pun memilih memakai mangkuk.

Akhirnya sang indomie datang. Yak betul sih 2, tapi ternyata 2 indomie untuk satu orang. Jadi total ada 4 indomie termasak. Walau dengan berbengong-bengong hati mereka tetep makan Indomie itu. Setelah melihat kanan kiri, mereka bisa sedikit menyimpulkan bahwa kalau indomie pakai mangkuk itu artinya indomie yang dimasak biasa. Sedangkan kalau pakai piring artinya indomie itu akan dimasak ulang dengan menggunakan bumbu-bumbu khas Aceh.

Lalu datanglah satu orang teman lagi, Alol kalau nggak salah. Alol melihat ada banyak indomie (dan setelah diceritakan perbedaan antara mangkuk dan piring) memutuskan untuk ikut makan mie jadi dia minta piring kosong aja satu. ‘Bu, bisa minta piring kosong?’ Tak dinyana si Ibu berkata, ‘Tidak ada piring disini, kami makan pakai mangkuk. Kami kan pengungsi jadi tidak punya piring’. Lho?? Padahal didekat situ jelas-jelas terlihat ada piring dan si Ibu pun kan sebelumnya menawarkan pakai piring?

Lalu datang lagi si Rubby. Dia pesan indomie pakai telor. Asumsinya, jika indomie pakai telor, maka telor akan dimasak. Tapi ternyata salah. Indomie datang lengkap dengan telor. Telor bulat. Rubby berpikir, ‘Oh telornya direbus’. Dengan asyiknya dia memecah telor itu dan PLUK. Telornya tumpah. Ternyata telurnya masih mentah sodara-sodara. Ketika ditanyakan kembali ke si Ibu, beliau hanya menjawab manis yang kira-kira terjemahannya begini, ‘Lho, kan tadi katanya indomie pakai telor, kamu nggak bilang telornya harus matang kan?’

Mi, Lezat Bergizi tetapi Rawan Formalin!

http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1108523450,51247,

Rabu, 16 Februari, 2005 oleh: Gsianturi

Gizi.net - Mi, Lezat Bergizi tetapi Rawan Formalin!


Oleh Prof. DR. Made Astawan, Ahli Teknologi Pangan dan Gizi

Mi basah rawan terhadap penambahan formalin dan boraks. Zat kimia ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan.

Sayangnya, kandungan formalin dan boraks hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan laboratorium.

Mi pertama kali dibuat dan berkembang di Cina. Teknologi pembuatan mi disebarkan oleh Marcopolo ke Italia, hingga ke seluruh daratan Eropa. Kini mi populer di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Mi yang beredar di Indonesia terdiri dari empat jenis, yaitu mi mentah, mi basah, mi kering, dan mi instan. Keempat jenis tersebut mempunyal pasar sendiri-sendiri, dengan jumlah permintaan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Di Indonesia, mi digemari herbagai kalangan, mulai anak-anak hingga lanjut usia. Alasannya. sifat mi yang enak, praktis, dan mengenyangkan.

Kandungan karbohidrat yang tinggi, menjadikan mi digunakan sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi. Mi dapat diolah menjadi berbagai produk seperti mi baso, mi goreng, soto mi, mi ayam, dan lain sebagainyaa.

Seiring perkembangan teknologi dan semakin meningkatnya kesadaran orang akan gizi, sekarang ini mi tidak hanya dijadikan sebagai penyuplai energi, melainkan juga sebagai sumber zat gizi lain. Berbagai vitamin dan mineral dapat difortifikasikan ke dalam mi. seperti yang sering kita jumpai pada pembuatan mi instan.

Walaupun demikian, kecukupan zat gizi belum dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan sebungkus mi. Kombinasi dengan sayuran dan sumber protein perlu dilakukan dalam upaya mendongkrak kelengkapan komposisi gizi ini.

Nilai Gizi
Diversifikasi konsumsi pangan terutama dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras.
Saat ini persediaan beras di Indonesia mulai menipis, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin banyaknya lahan persawahan yang digunakan sebagai pemukiman.

Berdasarkan kandungan gizinya, mi merupakan bahan pangan yang berpotensi besar untuk dijadikan sebagai produk diversifikasi. Kandungan gizi mi sudah dapat mencukupi sebagai pengganti beras.

Sebungkus mi instan yang beratnya 75 gram (lengkap dengan minyak dan bumbu), serta ditambah dengan sayuran dan protein dari luar, dapat diandalkan untuk sarapan pagi. Untuk makan siang, porsinya perlu dinaikkan menjadi dua bungkus.

Terdapat beberapa kelemahan dalam produk-produk mi. Umumnya mi sedikit sekali mengandung serat (dietary fiber) serta vitamin B dan E. Komposisi bahan mi instan belakangan ini sudah semakin komplet. Beberapa merek mi instan telah dilengkapi dengan serat, sedikit sayuran, dan irisan daging kering, serta vitamin B dan E. Namun, kita tetap saja perlu menambahkan bahan-bahan lain dari luar, terutama sayuran dan sumber protein, agar nilai gizinya menjadi semakin baik.

Murah, Meski Berbahaya
Sayangnya, tingkat pengetahuan yang rendah mengenai bahan pengawet merupakan faktor utama penyebab penggunaan formalin dan boraks pada mi.

Beberapa survei menunjukkan, alasan produsen menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet karena daya awet dan mutu mi yang dihasilkan menjadi lebih bagus, serta murah harganya, tanpa peduli bahaya yang dapat ditimbulkan.

Hal tersebut ditunjang oleh perilaku konsumen yang cenderung untuk membeli makanan yang harganya murah, tanpa mengindahkan kualitas. Dengan demikian, penggunaan formalin dan boraks pada mi dianggap hal biasa. Sulitnya membedakan biasa dan mi yang dibuat dengan penambahan formalin dan boraks, juga menjadi salah satu faktor pendorong perilaku konsumen tersebut.

Deteksi formalin dan boraks secara akurat hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan menggunakan bahan-bahan kimia, yaitu melalui uji formalin dan uji boraks.

Untuk itu, perlu dilakukan upaya peningkatan kesadaran dan pengetahuan bagi produsen dan konsumen tentang bahaya pemakaian bahan kimia yang bukan termasuk kategori bahan tambahan pangan. Selain itu, diperlukan sikap pemerintah yang lebih tegas dalam melarang penggunaan kedua jenis pengawet tersebut pada produk pangan.

Bisa Menimbulkan Keracunan & Kematian
Mi basah digunakan untuk produk makanan seperti mi baso, mi soto bogor, mi goreng, ataupun pada pembuatan makanan camilan. Kadar air mi basah tergolong tinggi, sehingga daya awetnya rendah.
Penyimpanan mi basah pada suhu kamar selama 40 jam menyebabkan tumbuhnya kapang.

Untuk itu, dalam pembuatan mi basah diperlukan bahan pengawet agar mi bisa bertahan lebih lama. Mungkin karena faktor ketidaktahuan banyak produsen yang menggunakan formalin atau boraks sebagai pengawet. Selain memberikan daya awet, kedua bahan tersebut juga murah harganya dan dapat memperbaiki kualitas mi.

Menurut beberapa produsen, penggunaan boraks pada pembuatan mi akan menghasilkan tekstur yang lebih kenyal. Sementara itu, penggunaan formalin akan menghasilkan mi yang lebih awet, yaitu dapat disimpan hingga 4 hari.

Laporan Badan POM tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 29 sampel mi basah yang dijual di pasar dan supermarket Jawa Barat, ditemukan 2 sampel (6,9 persen) mengandung boraks, 1 sampel (3,45 persen) mengandung formalin, sedangkan 22 sampel (75,8 persen) mengandung formalin dan boraks. Hanya empat sampel yang dinyatakan aman dari formalin dan borak.

Isu penggunaan formalin dan boraks tentu saja sangat meresahkan masyarakat. Kedua bahan tersebut jelas-jelas bukan termasuk kategori bahan tambahan pangan (food additives), sehingga sangat dilarang penggunaannya pada pangan apa pun. Kedua bahan tersebut dilarang penggunaannya karena bersifat racun terhadap konsumennya.

Menurut Winarno dan Rahayu (1994), pemakaian formalin pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Gejala yang biasa timbut antara lain sukar menelan, sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan peredaran darah.

Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah), dan haimatomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian Injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 3 jam.

Boraks juga dapat menimbulkan efek racun pada manusia, tetapi mekanisme toksisitasnya berbeda dengan formalin. Toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung dirasakan oleh konsumen. Boraks yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh tubuh dan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak, atau testis (buah zakar), sehingga dosis boraks dalam tubuh menjadi tinggi (Winarno dan Rahayu, 1994).

Pada dosis cukup tinggi, boraks dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, dan kram perut. Bagi anak kecil dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya mencapai 5 gram atau lebih, akan menyebabkan kematian. Pada orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya telah mencapai 10 - 20 g atau lebih.@

Sumber:
http://www.kompas.co.id

Sehatkah Konsumsi Mi Instan?

http://www.info-sehat.com/content.php?s_sid=934

Sejarah mi instan bermula di?Jepang pada Perang Dunia II. Tujuan pembuatan mi instan pada jaman itu adalah untuk memenuhi kebutuhan logistik perang. Syarat ransum perang adalah segala jenis makanan yang praktis, tahan lama, dan mudah disiapkan.
?
Cara membuat mi instan sangat mudah dan praktis, yang dibutuhkan hanyalah air panas saja. Untuk jenis mi instan dalam cup (cup noodle), hanya tinggal dituangi air panas saja, sedangkan untuk jenis mi instan biasa diperlukan perebusan dalam air mendidih untuk mematangkannya. Apa pun jenisnya, kelezatan mi instan dapat langsung dirasakan hanya dalam hitungan beberapa menit saja.

Mi instan belum dapat dianggap sebagai makanan penuh (wholesome food) karena belum mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang bagi tubuh. Mi yang terbuat dari terigu mengandung karbohidrat dalam jumlah besar, tetapi kandungan protein, vitamin, dan mineralnya hanya sedikit. Pemenuhan kebutuhan gizi mi instan?dapat diperoleh jika ada penambahan sayuran dan sumber protein. Jenis sayuran yang dapat ditambahkan adalah wortel, sawi, tomat, kol, atau tauge. Sumber proteinnya dapat berupa telur, daging, ikan, tempe, atau tahu.

Satu takaran saji mi instan yang berjumlah 80 gram dapat menyumbangkan energi sebesar 400 kkal, yaitu sekitar 20% dari total kebutuhan energi harian (2.000 kkal). Energi yang disumbangkan dari minyak berjumlah sekitar 170-200 kkal. Hal lain yang?kurang disadari adalah kandungan minyak dalam mi instan yang dapat mencapai 30% dari bobot kering. Hal tersebut perlu diwaspadai bagi penderita obesitas atau mereka yang sedang menjalani program penurunan berat badan.
?
Salah satu kelebihan dari mi instan adalah keragaman rasa yang ditawarkan dari produsen. Keragaman rasa ditimbulkan oleh jenis bumbu yang ditambahkan. Rasa mi instan konvensional yang banyak dijumpai adalah soto ayam, kari ayam, ayam bawang, dan bakso. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa bahan baku mi instan dapat didiversifikasi dari bahan selain?terigu. Bahan baku potensial lainnya yaitu jagung, umbi-umbian, dan sayur-sayuran.

Kelemahan dari konsumsi mi instan adalah kandungan natriumnya yang tinggi. Natrium yang terkandung dalam mi instan berasal dari garam (NaCl) dan bahan pengembangnya. Bahan pengembang yang umum digunakan adalah natrium tripolifosfat, mencapai 1% dari bobot total mi instan per takaran saji. Natrium memiliki efek yang kurang menguntungkan bagi penderita maag dan hipertensi. Bagi penderita maag, kandungan natrium yang tinggi akan menetralkan lambung, sehingga lambung akan mensekresi asam yang lebih banyak untuk mencerna makanan. Keadaan asam lambung yang tinggi akan berakibat pada pengikisan dinding lambung dan menyebabkan rasa perih. Sedangkan bagi penderita hipertensi, natrium akan?meningkatkan tekanan darah karena ketidakseimbangan antara natrium dan kalium (Na dan K) di dalam darah dan jaringan.
?
Kelemahan lain mi instan adalah tidak dapat dikonsumsi oleh penderita autisme. Hal tersebut disebabkan karena mi instan mengandung gluten, substansi yang tidak boleh dikonsumsi oleh penderita autisme.

Waspada Kemasan Pembungkus Makanan Dan Minuman Beracun Mengandung Zat Berbahaya Bagi Kesehatan

http://organisasi.org/waspada-kemasan-pembungkus-makanan-dan-minuman-beracun-mengandung-zat-berbahaya-bagi-kesehatan





Sikap hati-hati dan waspada sangat dibutuhkan agar dapat menghindar dari bahaya bungkus pengemas mengandung racun. Barang yang mungkin biasa kita pakai untuk membungkus makanan dan minuman ternyata dapat menimbulkan dampak & efek luar biasa buruk bagi kesehatan tubuh kita. Styrofoam, kertas koran, kertas bekas, melamine beracun, daur ulang plastik bekas, plastik air minum dalam kemasan, dan lain sebagainya.


Perkembangan teknologi tidak hanya membawa kebaikan saja, namun juga keburukan. Dalam dunia kemasan atau bungkus makanan minuman terjadi perubahan yang pesat, dari yang dulunya hanya pakai daun pisang dan tanah liat, sekarang sudah bisa menggunakan plastik, kertas, beling dan lain sebagainya.


Di bawah ini merupakan beberapa macam / jenis kemasan makanan dan minuman yang harus anda waspadai karena bisa saja mengandung zat berbahaya bagi kesehatan tubuh anda :


1. Pembungkus Kertas Non Makanan


Hati-hati jika membeli makanan yang dibungkus kertas biasa, kertas koran, kertas majalah, dan lain sebagainya. Terkadang kertas pembungkus yang kontak langsung dengan makanan tidak didesain khusus untuk makanan sehingga mengandung zat berbahaya seperti timbal, karbon, dan lain sebagainya. Timbal dapat mudah berpindah ke makanan jika terkena minyak dan panas yang mampu menyebabkan pucat, kelumpuhan.


Jadi bagi anda yang suka membeli gorengan, sayur-sayuran, kue, roti, dan lain-lain yang dibungkus dengan kertas bekas atau kertas bukan untuk makanan seperti kertas koran, kertas majalah, kertas prinan, dll, gunakanlah piring atas wadah lainnya yang didesain khusus untuk makanan.


2. Pembungkus Styrofoam / Stereofoam / Polystyrene


Bungkus yang umumnya berwarna putih dan kaku ini sering dijadikan kotak bungkus luar makanan. Tadinya bahan ini dipakai untuk pengaman barang non makanan seperti tv, komputer, radio, dll agar tahan benturan ringan, namun pada saat ini dipakai sebagai kotak makanan. Kegunaan yang mudah, praktis, enak dipandang, murah, anti bocor, tahan suhu panas dan dingin seolah membutakan kita akan dampak dan efek bagi lingkungan serta tubuh manusia.


Bahayanya yaitu jika makanan tersebut kontak langsung dengan lapisan sterofom. Lapisan sterofoam tersebut jika terkena panas dapat mencairkan banyak residu sterofom yang bisa menyebabkan endocrine disrupter akibar zat karsinogen yang beracun. Umumnya pembungkus makanan ini sudah menjadi salah satu pilihan pembungkus favorit tukang somay, tukang bubur ayam, tukang nasi, tukang nasi goreng, tukang mi tektek, tukang capcay, mie instan, dan lain sebagainya.


Selain itu bahan Styrofoam bersifat tahan lama yang tidak akan terurai secara alamiah dalam waktu puluhan atau mungkin bahkan ratusan tahun. Jika dibakar, maka racun yang menguap ke udara jika terhirup akan menetap di dalam tubuh serta dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius.


Sebaiknya mulai dari diri sendiri tidak menggunakan dan tidak membeli makanan mimuman yang memakai stairofoam sebagai kemasan agar tidak terkena dampak yang merugikan diri kita sendiri, orang lain dan juga lingkungan sekitar kita. Lebih baik membawa tupper ware, piring atau rantang sendiri untuk membawa makanan kesukaan kita.


3. Plastik Air Minum Dalam Kemasan / AMDK


Botol dan gelas air minum seperti aqua, vit, 2tang, dan sebagainya dengan bahan polyethylene terephthalate atau PET mengandung zat karsinogen yang dapat membahayakan kesehatan tubuh manusia apabila terminum bersama minuman. Kemasan PET tersebut hanya aman digunakan beberapa kali saja, dengan suhu normal, tanpa dicuci-cuci, tidak kena sinar matahari.


Jika kita menggunakan botol atau gelas amdk tersebut berulang-ulang kali, maka bisa jadi racun karsinogen tersebut larut dalam air yang kita minum dan dalam jangka panjang akan memberikan efek yang merugikan kesehatan. Oleh sebab itu sebaiknya kita tidak memakai ulang botol dan gelas air minum kemasan dan hanya menggunakan kemasan minuman khusus untuk minuman yang aman dari zat-zat berbahaya.


4. Hasil Daur Ulang Plastik Bekas


Hati-hatilah jika anda menggunakan wadah atau pembungkus makanan dan minuman. Teliti dulu apakah benda-benda yang kontak langsung dengan makanan seperti piring, gelas, sedotan, plastik kresek, pelastik es, kertas coklat berlapis plastik, dan lain-lain dibuat dari biji platik baru atau biji plastik bekas.


Barang-barang yang terbuat dari plastik bekas dapat menimbulkan berbagai penyakit yang merugikan kesehatan kita. Umumnya para pedagang kaki lima menggunakan plastik baru tapi bekas untuk mengemas makanan produksi mereka karena harganya murah, mudah dan praktis.


Mereka tidak tahu kalau plastik kresek itu dibuat dari plastik bekas baik dari tempat sampah, pelastik bekas bahan kimia, plastik beracun, ember somplak, mainan plastik beracun, plastik aqua bekas dan plastik-plastik menjijikkan lainnya yang mengandung zat berbahaya. Plastik bekas biasanya memiliki tekstur yang agak kasar, kurang elastis, ada bercak-bercak, dan sebagainya tapi tidak menutup kemungkinan kalau plastik yang bagus terbuat dari bahan plastik bekas berbahaya bagi kesehatan kita.


5. Piring, Mangkok, Gelas dan Barang Berbahan Melamin / Melamine


Bahan melamin untuk pembuatan barang rumah tangga seperti piring, gelas, mangkuk, mug, cetok, sendok, garpu, dan sebagainya ternyata tidak semuanya aman bagi kesehatan kita dan dapat memicu kanker. Selain harga yang murah, bentuknya yang beraneka ragam, ringan dan tahan banting menjadi primadona dalam perkakas rumah tangga di masyarakat.


Jadi anda diharapkan lebih selektif dan waspada dalam membeli perangkat rumah tangga termasuk produk yang dijual di hipermarket, supermarket dan minimarket walaupun ritel tersebut termasuk modern serta melakukan pengawasan ketat terhadap barang dagangannya.


Berdasarkan uji klinis terdapat sebagian merek produk melamine di Indonesia yang mengandung racun formaldehid atau formalin. Racun tersebut adalah merupakan hasil polimerisasi yang tidak sempurna sehingga menghasilkan residu formaldehid yang menempel pada barang-barang tersebut. Apabila residu itu ikut nimbrung masuk ke dalam perut badan kita melalui makanan dan minuman, maka bisa menimbulkan masalah kesehatan seperti kanker dan penyakit lain yang sangat berbahaya.
-----
Tambahan :
  • Jika membeli suatu barang dalam kemasan, pastikan kemasan dan atau segel masih dalam keadaan baik dan belum rusak.
  • Perhatikan tanggal kadaluarsa produk tersebut yang tertera pada kemasan. Jika isinya sudah rusak atau cacat, jangan dikonsumsi.
  • Lebih baik menggunakan wadah makanan atau minuman sendiri.
  • Gunakan wadah makanan dan minuman yang bebas racun walaupun kurang praktis, mahal, berat, gampang pecah, dan sebagainya. Yang penting aman bagi kesehatan anda dan keluarga serta orang lain.

Bahaya Dibalik Kemasan Makanan

http://library.monx007.com/health/kemasanmkn/2

Article Time Stamp: 12 February 2006, 05:56:39 GMT+7

Kemasan makanan merupakan bagian dari makanan yang sehari-hari kita konsumsi. Bagi sebagian besar orang, kemasan makanan hanya sekadar bungkus makanan dan cenderung dianggap sebagai "pelindung" makanan. Sebetulnya tidak tepat begitu, tergantung jenis bahan kemasan. Sebaiknya mulai sekarang Anda cermat memilik kemasan makanan. Kemasan pada makanan mempunyai fungsi kesehatan, pengawetan, kemudahan, penyeragaman, promosi, dan informasi. Ada begitu banyak bahan yang digunakan sebagai pengemas primer pada makanan, yaitu kemasan yang bersentuhan langsung dengan makanan. Tetapi tidak semua bahan ini aman bagi makanan yang dikemasnya. Inilah ranking teratas bahan kemasan makanan yang perlu Anda waspadai.

A. Kertas.
Beberapa kertas kemasan dan non-kemasan (kertas koran dan majalah) yang sering digunakan untuk membungkus makanan, terdeteksi mengandung timbal (Pb) melebihi batas yang ditentukan. Di dalam tubuh manusia, timbal masuk melalui saluran pernapasan atau pencernaan menuju sistem peredaran darah dan kemudian menyebar ke berbagai jaringan lain, seperti: ginjal, hati, otak, saraf dan tulang. Keracunan timbal pada orang dewasa ditandai dengan gejala 3 P, yaitu pallor (pucat), pain (sakit) & paralysis (kelumpuhan). Keracunan yang terjadipun bisa bersifat kronis dan akut. Untuk terhindar dari makanan yang terkontaminasi logam berat timbal, memang susah-susah gampang. Banyak makanan jajanan seperti pisang goreng, tahu goreng dan tempe goreng yang dibungkus dengan koran karena pengetahuan yang kurang dari si penjual, padahal bahan yang panas dan berlemak mempermudah berpindahnya timbal makanan tsb. Sebagai usaha pencegahan, taruhlah makanan jajanan tersebut di atas piring.

B. Styrofoam
Bahan pengemas styrofoam atau polystyrene telah menjadi salah satu pilihan yang paling populer dalam bisnis pangan. Tetapi, riset terkini membuktikan bahwa styrofoam diragukan keamanannya. Styrofoam yang dibuat dari kopolimer styren ini menjadi pilihan bisnis pangan karena mampu mencegah kebocoran dan tetap mempertahankan bentuknya saat dipegang. Selain itu, bahan tersebut juga mampu mempertahankan panas dan dingin tetapi tetap nyaman dipegang, mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas, biaya murah, lebih aman, serta ringan. Pada Juli 2001, Divisi Keamanan Pangan Pemerintah Jepang mengungkapkan bahwa residu styrofoam dalam makanan sangat berbahaya. Residu itu dapat menyebabkan endocrine disrupter (EDC), yaitu suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan pada sistem endokrinologi dan reproduksi manusia akibat bahan kimia karsinogen dalam makanan.

Article Source: Monx Digital Library

Copyrighted@ Monx Digital Library, otherwise stated
Use of our service is protected by our Terms of Use




Friday, February 8, 2008

Bahaya Tersembunyi Minuman Kemasan

http://www.gayahidupsehatonline.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle
&cid=5&artid=24&PHPSESSID=2750ee84f5829b2284bf5b0410a81ce2

Oleh admin

Pada tahun 1980-an, ketika air minum dalam kemasan diperkenalkan, banyak orang, termasuk para praktisi, menertawakannya. ”Air mudah didapat di mana–mana, hanya orang bodoh yang menjualnya,” begitu komentar sebagian besar orang.

Siapa sangka air minum dalam kemasan kini menjadi salah satu barang ekonomi yang mempunyai nilai jual tinggi. Air tersebut dijual dalam berbagai kemasan dan ukuran, seperti galon, botol, dan cup.

Saat ini minuman yang paling banyak diperjualbelikan adalah dalam kemasan cup, sehingga disebut cup drink. Pada akhir tahum 1990-an, cup drink bukan hanya berisi air putih biasa, tetapi sudah menjurus ke minuman berflavor, yakni jus buah, kopi, kopi susu, teh manis, dan lain-lain.

Perkembangan industri minuman dalam kemasan cup memang sangat menjanjikan. Selain inovasi teknologi yang murah, minuman ini pada umumnya membidik pasar kelas bawah, sehingga harganya relatif murah.

Sayangnya, belum ada standardisasi mengenai cup drink. Akibatnya, minuman tersebut diproduksi sangat beragam. Karena itu, tingkat keamanan dan nilai fungsionalnya perlu dicermati lebih dalam.

Selama ini, satu-satunya standar mengenai cup drink adalah standar air minum dalam kemasan yang mengacu pada SNI 01-3553–1996. Sementara produk-produk cup drink lainnya belum mempunyai standar yang pasti. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum membeli cup drink adalah kondisi kemasan, pelabelan, nilai gizi, dan komponen ingridiennya.

Indikator Aman dan Sehat
Salah satu indikator untuk melihat keamanan cup drink adalah kondisi kemasan dan cara penyimpanannya. Saat ini terdapat banyak sekali variasi kemasan cup drink.

Sebagian besar menggunakan bahan dasar plastik, tetapi ada pula yang berbahan dasar gelas. Dalam pemilihan cup drink, hendaknya pilih yang tidak mengalami kerusakan fisik, seperti bocor (sekecil apa pun) dan penyok.

Kemasan yang mengalami kerusakan fisik memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroba patogen yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Kondisi penyimpanan cup drink juga harus mendapat perhatian. Sebagian cup drink kini dikemas dengan plastik gelap dengan tujuan untuk memblokir cahaya dan panas matahari dari luar, agar tidak merusak komponen kimia yang ada di dalam minuman.

Sebaiknya jangan membeli cup drink yang disimpan di bawah terik matahari karena dapat merusak komponen kimia yang terdapat di dalamnya, apalagi jika kemasannya terbuat dari plastik. Kemasan plastik yang umumnya digunakan berupa polyetilen (PE), polypropilen (PP), dan polyvinylchloride (PVC). Kemasan tersebut merupakan polimer yang tersusun dari monomer-monomer yang umumnya tidak tahan terhadap suhu tinggi.

Penggunaan plastik sebagai pengemas makanan, terutama makanan yang masih panas, sangat berbahaya karena komponen polimer dari plastik akan mudah terurai menjadi monomer yang dapat bermigrasi ke dalam makanan dan menimbulkan dioksin bagi yang mengonsumsinya. Dioksin merupakan suatu zat beracun yang dapat menyebabkan kanker dan mengurangi sistem kekebalan tubuh.

Iming-Iming Zat Gizi
Saat ini beberapa jenis cup drink difortifikasi dengan berbagai mineral dan vitamin, dengan tujuan untuk memperbaiki komposisi gizi dan sekaligus menjadi daya tarik bagi konsumen. Iming-iming fortifikasi zat gizi cukup ampuh untuk menjadi daya tarik bagi sebagian masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi terhadap pentingnya gizi bagi kesehatan. Bacalah label secara seksama sebelum memutuskan untuk membeli jenis cup drink tertentu, agar tidak terkecoh.

Zat gizi yang paling banyak ditambahkan ke dalam minuman adalah vitamin C. Pada suhu kamar, kerusakan vitamin C dalam minuman kemasan dapat mencapai 70 persen setelah 10 minggu penyimpanan, sedangkan penyimpanan dalam lemari pendingin hanya menyebabkan kerusakan sebesar 10 persen. Karena itu, jangan membeli cup drink di sembarang tempat. Belilah dari kios atau toko yang memiliki fasilitas pendingin yang memadai.

Pelabelan merupakan indikator lain yang tidak boleh luput dari perhatian. Selama ini pelabelan kurang mendapat perhatian produsen makanan ataupun minuman dalam kemasan, termasuk cup drink. Padahal, label merupakan salah satu unsur penting dalam memberikan rasa aman bagi konsumen.

Orang-orang yang menderita hipertensi sebaiknya memilih produk yang rendah natrium (sodium). Penderita diabetes melitus hendaknya memilih produk yang rendah gula, khususnya gula pasir, glukosa, fruktosa, dan madu.
Beberapa produk bahkan memberi peringatan bagi orang yang alergi terhadap bahan kimia tertentu. Tulisan ”fenilketonurik: mengandung fenilalanin” merupakan peringatan kepada penderita fenilketonuria, agar tidak mengonsumsi produk tersebut karena mengandung fenilalanin yang berasal dari pemanis aspartam.

Walaupun kasus fenilketonuria (ketidakmampuan tubuh dalam metabolisme fenilalanin) merupakan kasus yang sangat langka di dunia, peraturan mengharuskan pencantuman peringatan tersebut pada setiap produk yang menggunakan aspartam sebagai bahan pemanis. Belum ada data tentang kasus fenilketonuria di Indonesia.

Selain itu, pada label hendaknya juga diperhatikan masalah tanggal kedaluwarsa. Produk yang baik adalah produk yang memiliki waktu kedaluwarsa yang cukup panjang (sebaiknya lebih dari enam bulan).

Faktor lain yang juga harus diperhatikan adalah nama dan alamat perusahaan yang memproduksi produk, dengan tujuan untuk memudahkan klaim jika terjadi sesuatu pada produk tersebut.

Legalitas Produk
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah legalitas suatu produk, yaitu dapat dilihat dari nomor pendaftaran pada Departemen Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Nomor tersebut berupa nomor MD (untuk makanan dalam negeri) atau ML (untuk makanan luar negeri/impor). Beberapa produk hasil industri kecil biasanya hanya mencantumkan nomor SP (sertifikat penyuluhan) atau IRT (industri rumah tangga).

Selama ini banyak konsumen yang tidak menyadari keberadaan beberapa produk yang belum terdaftar dan tidak memiliki identitas perusahaan yang jelas. Produk semacam itu jangan dibeli karena bisa merugikan kesehatan, terutama akibat belum diujinya keamanan produk tersebut oleh pihak yang berwenang.

Label gizi merupakan faktor lain yang perlu diperhatikan dan sebaiknya dicantumkan oleh produsen. Dari label gizi, konsumen dapat mengetahui berapa jumlah zat gizi yang telah diasup ketika mengonsumsi suatu produk.

Di Indonesia, label gizi jarang mendapat perhatian secara khusus. Meskipun sudah memiliki aturan yang jelas, masih banyak produk yang belum mencantumkan komposisi nilai gizinya. Padahal, dari label gizi inilah suatu produk dapat dinilai kualitasnya.

Bahaya kemasan Plastik Terhadap Kesehatan

http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=3814&Itemid=710

07-03-2007
Pengunaan plastik sedemikian meluasnya bahkan karena sangat tinggi tingkat ketergantungan padanya sehingga hampir-hampir sudah tak dapat terpisahkan dari kehidupan keseharian kita, tak terkecuali untuk kemasan makanan.
Tidak heran karena plastik merupakan bahan pembungkus makanan yang murah harganya, mudah didapat dan tahan lama. Tetapi di balik itu, banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahaya dari plastik itu sendiri, apabila kita tidak benar menggunakannya.

Narasumber IPTEK VOICE edisi hari ini Dr. Agus Haryono dari Pusat Penelititan Kimia (LIPI), mengatakan setiap hari ketergantungan terhadap plastik semakin tinggi, namun bahayanya kurang disadari oleh masyarakat. Sesungguhnya penggunaan bahan plastik dalam konsumsi makanan tidak perlu ditakutkan, asalkan kita tahu cara menggunakannya dengan benar. Penjelasan ini disampaikan oleh narasumber saat siaran IPTEK VOICE, hari Selasa, tanggal 6 Maret 2007 langsung dari studio mini Kementerian Negara Riset dan Teknologi pada frekuensi 105.0 FM (RRI Pro 2 FM Jakarta).

Bagi masyarakat awam cara mudah untuk menghindari bahanya plastik, yaitu dengan membedakan antara plastik untuk kemasan makanan dan untuk keperluan lainnya. Karena karakteristik peruntukannya maka bahan baku dan proses pembuatannya pun berbeda. Plastik untuk kemasan bahan makanan seharusnya dibuat berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga lebih aman pada suhu tertentu dan lemak/minyak.

Pada plastik untuk kegunaan lainnya, misalnya plastik keresek, hindari pemakainnya dari makanan berminyak dan suhu panas, karena zat-zat adiktif dalam plastik mudah terurai dalam lemak dan panas, apabila terkontaminasi dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh, secara akumulaitf pada binatang percobaan dapat mengakitbatkan penyakit kanker, perubahan hormon dan menyebabkan kelahiran berjenis kelamin ganda.

Hal ini tentu, dikhawatirkan dapat berdampak buruk juga bagi kesehatan manusia. "Karena tidak semua produk kemasan plastik tercantum SNI, maka lebih baik tidak memasukkan makanan panas dan belemak/berminyak ke dalamnya." imbuh Agus. Lalu bagaimana dengan botol susu untuk balita? "Setelah botol direbus, dinginkan. Buatlah adukan susu panas di gelas kaca, setelah hangat, baru masukkan ke botol." jelas Agus Selain itu, banyaknya plastik dengan jenis melamin untuk wadah makanan yang dijual di pasar dengan bentuk dan motif menarik serta harga murah membuat masyarakat tertarik untuk membeli tanpa memperhatikan keaslian produk.

"Cara yang paling mudah untuk mengetahui keasliannya yaitu dengan merebus plastik tempat wadah makanan dalam air panas selama satu jam, apabila terjadi perubahan bentuk atau pecah, maka dapat diindikasikan melamin tersebut palsu. Melamin palsu terbuat dari bahan yang berbahaya seperti, formalin, urea dan bahan berbahaya lainnya." ungkap Agus Haryono .

Selain itu, untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya plastik, saat ini telah dikembangkan plastik biodegradable, artinya plastik ini dapat diuraikan kembali oleh mikroorganisme secara alami. Plastik yang demikian, terbuat dari material yang dapat diperbaharui, yaitu dari senyawa-senyawa yang terdapat dalam pati tanaman misalnya tapioka, jagung. Namun penggunaan plastik ini mengalami kendala yaitu harga yang jauh lebih mahal dari plastik biasanya.

"Kalau masyarakat sudah terdidik dan memperhatikan kesehatan, maka produsen akan mengikuti." yakin Agus. Di Indonesia belum diterapkan standar penggunaan plastik, masih sebatas himbauan. Berbeda dengan negara maju lainnya misalnya Jepang, telah diterapkan standar penggunaan plastik dan sanksi terhadap pelanggaran penggunaan plastik. "Plastik bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan, asalkan kita mengetahui cara berinteraksi dengan benar dan lebih selektif dalam penggunaan plastik, maka hidup kita akan lebih aman dan sehat." ujar Agus untuk mengakhiri diskusi

http://www.ristek.go.id/index.php?mod=News&conf=v&id=1657

STYROFOAM BAN

http://environmentallegal.blogs.com/sholzer/styrofoam/index.html

June 17, 2007

LIMITED STYROFOAM BAN PROPOSED FOR CALIFORNIA

As previously Posted (see "CATEGORIES", "Styrofoam" on right-hand side of page) various local jurisdictions in California have imposed a ban on Styrofoam food packaging. At the State level in California, there appears to be only one such similar piece of legislation pending in the current session; and the proposed ban is much more limited than the existing local legislation.

AB 820 (Asemb. Kernette, D-54th District, Long Beach and environs) would, effective January 1, 2009, ban State facilities from selling, possessing or distributing expanded polystyrene food containers, with certain exceptions (i.e., the University of California, the Department of Corrections and Rehabilitation and the Department of Mental Health could all, under varying conditions prescribed in the legislation, decide not to sign on to the ban).

The limited proposed ban may be influenced by the fact that the California Waste Management Board, in a 2004 study requested by the Legislature, questioned the efficacy of imposing the ban at all. Moreover, it's not clear that this legislation is going anywhere soon, because the State Assembly website says it is being held in Committee "under submission".

For an analysis of the bill, go to the Assembly Committee on Appropriations Internet site.

June 07, 2006

CALABASAS, CALIFORNIA CONSIDERS STYROFOAM BAN

The City, which recently gained national noteriety for an anti-smoking ordinance, now is considering legislation to ban restaurants and City contractors from dispensing beverages in Styrofoam cups (not biodegradable, etcetera). You can read the Staff Report (and related documents) regarding the possible legislation at City of Calabasas website (item 3 of tonight's City Council Agenda), referring to Styrofoam by its more arcane name "Polystyrene").

Of course, in the "grass is always greener" or "you don't really want what you wish for" mode, this Blog points out (another cliche) the law of unintended consequences. What would substitute for Styrofoam? Plastic? Say no more.

What about good ol' paper? Well, have you ever noticed that you usually need at least two paper cups to insulate your coffee instead of the single cup of (better insulated) Styrofoam? There go the forests. Plus, the poor insulating qualities of paper cups may lead to more personal injuries from consumers spilling the beverage in reaction to the hot liquid inside.

Styrofoam food packaging banned in Oakland

http://www.sfgate.com/cgi-bin/article.cgi?f=/c/a/2006/06/28/MNG65JLQJ411.DTL

Wednesday, June 28, 2006

(06-28) 12:01 PDT OAKLAND -- The Oakland City Council approved a ban on Styrofoam packaging for take-out food late Tuesday during a marathon council meeting that ended early today.

Oakland joins about 100 cities that have adopted similar measures, including Portland, Ore., and Berkeley, which banned Styrofoam nearly 20 years ago. San Francisco is expected to ban Styrofoam food packaging later this summer.

The measure, which takes effect in January, will ban Styrofoam or polystyrene food packaging and require restaurants and cafes to switch to disposable food containers that will biodegrade if added to food compost.

In 2004, the city began an ambitious food recycling plan that encourages residents to stuff used food containers, such as pizza boxes, into the green litter container that already includes yard waste.

The council voted 7-1 with Councilwoman Desley Brooks the sole opponent. Tuesday's action was the final vote after the ban was first approved two weeks ago. Brooks, along with some restaurant owners, has said that the ban would place an undue burden on small businesses.

But supporters, including the measure's author, Councilwoman Jean Quan, said there were plenty of cost-effective options out there for businesses.

The city plans to enforce the measure based on citizen complaints. After a first warning, food vendors could face fines ranging from $100 to $500 for repeat offenses.

Supporters note that polystyrene takes thousands of years to decompose and is already a huge problem in waterways. The California Integrated Waste Management Board reported that polystyrene is responsible for 15 percent of the litter collected in storm drains.

The California Restaurant Association opposes such bans, saying that Styrofoam is necessary to keep food warm. The group also said that Oakland has a history of forcing small businesses to make changes in order to solve the city's litter problem.

In January, the council voted to impose a litter tax on fast-food restaurants to help pay for litter cleanup crews. Under that measure, fast-food restaurants and convenience stores are being assessed between $230 and $3,815 annually, depending on their size, in order to raise $237,000 each year to pay for litter cleanup around the city.

But many local businesses in Oakland supported the measure, noting that they have already voluntarily stopped using Styrofoam, or never used it.

"We've never used (Styrofoam) and we never would," said Gabriel Frazee, manager of the Nomad Cafe on Shattuck Avenue. "All of our food containers are compostable except for plastic drink lids.

In San Francisco, the Golden Gate Restaurant Association also supports a proposed ban.

Frazee, whose business has won several awards for its environment-friendly practices such as using coffee grounds for compost, said that even if paper containers are a little more expensive, it's built into the cafe's business plan.

"There is a slight price difference, but not to the extent that it's going to ruin the business," Frazee said. "Our owner believes in an environmentally friendly business, and our customers support us."

E-mail Jim Zamora at jzamora@sfchronicle.com.

Menjadikan Styrofoam Ramah Lingkungan






http://www2.kompas.com/teknologi/news/0603/02/202437.htm

Jakarta, Kamis

ist.
Sampah styrofoam dapat diuraikan menjadi plastik ramah lingkungan oleh bakteri Pseudomonas putida.


Bakteri ada di mana-mana. Diam-diam mereka bekerja menghancurkan selulosa, mencerna sisa-sisa makanan, atau mengikat nitrogen di dalam tanah.

Selain itu, dengan perkembangan bioteknologi, beberapa turunan bakteri tertentu juga dimanfaatkan untuk membersihkan minyak yang tumpah di laut hingga menangkap gambar beresolusi tinggi layaknya fungsi retina.

Baru-baru ini, para ahli biologi di University of College Dublin, Irlandia, menemukan turunan bakteri Pseudomonas putida, yang biasa ditemukan di dalam tanah, memakan minyak styrene murni dan mengubahnya menjadi plastik yang ramah lingkungan. Minyak yang merupakan hasil pemanasan styrofoam pada suhu tinggi itu mencemari tanah karena sulit terdegradasi di alam.

Kevin O’Connor dan koleganya mengubah polystyrene menjadi minyak melalui pyrolysis, yaitu memanaskan plastik turunan minyak bumi dengan suhu 520 derajat Celcius tanpa melibatkan oksigen. Pemanasan tersebut menghasilkan cairan yang terdiri atas minyak styrene sebesar lebih dari 80 persen dan sisanya berupa cairan racun lainnya.

Para peneliti kemudian memberikan cairan ini kepada salah satu turunan bakteri, Pseudomonas putida CA-3. Pada awalnya, mereka berharap bakteri akan memurnikan styrene dari larutan. Namun, bakteri justru sangat menikmati menu makan barunya ini dan mengubah 64 gram styrene campuran untuk menghasilkan sekitar 3 gram bakteri baru.

Dalam proses ini, bakteri menyimpan 1,6 gram energi minyak styrene dalam bentuk plastik biodegradable (dapat terurai di alam) yang disebut polyhydroxyalkanoate atau PHA. Selain musnah jika dibakar, plastik jensi ini juga mudah terurai di alam.

Namun, proses biologi yang dilakukan bakteri menghasilkan produk sampingan yang masih beracun, yaitu toluene. Meskipun demikain, temuan ini membawa harapan baru karena menunjukkan bahwa styrofoam dan milekul polystyrene yang menyusunnya dapat diubah menjadi ramah lingkungan.

Styrofoam adalah salah satu sumber pencemaran lingkungan yang besar. Di AS saja, styrofoam sekitar 3 juta ton diproduksi pada 2000 dan 2,3 juta di antaranya dibuang ke lingkungan. "Prinsip dalam proses tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk mendaur ulang sampah plastik dari turunan minyak bumi," kata para peneliti yang melaporkan temuannya dalam Environmental Science and Technology edisi 1 April.


Sumber: sciam.com
Penulis: Wah

Bahaya Kemasan Styrofoam


http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1627353-bahaya-kemasan-styrofoam/

Pengarang : Teguh Vedder

Ringkasan oleh : Teguh Vedder

Kunjungan: 426
Bahan pengemas styrofoam atau polystyrene telah menjadi salah satu pilihan yang paling populer dalam bisnis pangan.
Tetapi, riset terkini membuktikan bahwa styrofoam diragukan keamanannya. Styrofoam yang dibuat dari kopolimer styrene ini menjadi pilihan bisnis pangan karena mampu mencegah kebocoran dan tetap mempertahankan bentuknya saat dipegang. Selain itu, Bahan tersebut juga mampu mempertahankan panas dan dingin tetapi tetap nyaman dipegang, mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas, biaya murah, lebih aman, serta ringan. Pada Juli 2001, Divisi Keamanan Pangan Pemerintah Jepang mengungkapkan bahwa residu Styrofoam dalam makanan sangat berbahaya. Residu itu dapat menyebabkan endocrine disrupter (EDC), yaitu suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan pada sistem endokrinologi dan reproduksi manusia akibat bahan kimia karsinogen dalam makanan.

Styrofoam, Bersih tapi Tak Sehat


http://www.harian-global.com/news.php?item.17602.7

Styrofoam kini banyak digunakan untuk wadah pengemas makanan seperti mi instan, burger, ayam goreng dan bakso. Namun tahukah Anda, bahwa styrofoam dapat memicu sel tumor dan kanker.

Styrofoam umumnya berwarna putih dan terlihat bersih. Bentuknya juga simpel dan ringan. Dengan segala kelebihannya itulah maka styrofoam selalu menjadi pilihan bagi para pedagang untuk membungkus makanan. “Kalau pakai styrofoam kelihatan lebih praktis dan bersih. Sekali pakai langsung buang. Coba pakai piring, kan repot mesti dicuci dulu,” sebut Surya, pedagang mi ayam di bilangan Karya Jasa Medan.

Lain lagi dengan Hans, salah seorang pedagang ayam goreng di kawasan Jalan Pancing, Medan. “Bentuknya simpel dan kelihatan eksklusif. Apalagi harganya juga murah,” sebut Hans.

Yah, praktis, nyaman, ringan dan ekonomis merupakan alasan mengapa orang tertarik menggunakan styrofoam. Di pasaran harga styrofoam hanya sekitar Rp 400 per buah. Jauh lebih murah dibanding daun pisang, yang umumnya dipakai oleh pedagang tradisional. Apalagi kelebihan utama styrofoam ini karena kemampuannya menahan panas. Tak heran kalau produk-produk sup dan minuman hangat di restoran cepat saji menggunakan wadah ini.

Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi industri pangan, aspek keamanan pangan bahan ini mulai dipertanyakan. Beberapa laporan penelitian dan riset ilmuwan pangan menunjukkan bahwa styrofoam memiliki potensi yang sangat membahayakan kesehatan manusia, karena dapat memicu sel tumor dan kanker.

Plastik
Di balik kelebihan styrofoam menahan panas inilah masalah utamanya. Styrofoam ini sesungguhnya masih tergolong keluarga plastik. Menurut penelitian para ahli, bahan pembentuk styrofoam yang disebut juga gabus, bersifat racun dan bisa mencemari makanan serta minuman. Terutama makanan yang masih panas dan berlemak ketika dimasukkan ke dalam wadah putih ini tak lama kemudian akan meleleh.

Plastik pada bahan styrofoam tersusun dari polimer, yakni rantai panjang dari satuan-satuan yang lebih kecil yang disebut monomer (bahan-bahan pembentuk plastik). Bila makanan dibungkus dengan plastik, monomer-monomer ini dapat berpindah ke dalam makanan dan selanjutnya berpindah ke tubuh orang yang mengonsumsinya. Bahan-bahan kimia yang telah masuk ke dalam tubuh ini tidak larut dalam air sehingga tidak dapat dibuang keluar, baik melalui urine maupun feses (kotoran). Penumpukan bahan-bahan kimia berbahaya dari plastik di dalam tubuh dapat memicu munculnya kanker.

Semakin tinggi suhu makanan yang dimasukkan ke dalam plastik, semakin cepat terjadi perpindahan ini. Apalagi bila makanan berbentuk cair seperti bakso, mi ayam, sup, sayuran berkuah dan sebagainya.

Saat makanan panas ini dimasukkan ke dalam plastik, kita bisa lihat plastik menjadi lemas dan tipis. Inilah tanda terputusnya ikatan-ikatan monomer. Perpindahan monomer juga terjadi bila makanan atau minuman dalam wadah plastik terkena panas matahari secara langsung.
Mengandung Formalin

Mengutip pernyataan dosen teknologi pangan dari Politeknik Kesehatan Departemen Kesehatan Lanita Msc Med, pada plastik pembungkus makanan dan styrofoam juga ditemukan zat pengawet mayat.

Berdasarkan penelitian, ujar Lanita, pembungkus berbahan dasar plastik rata-rata mengandung 5 ppm formalin. Satu ppm adalah setara dengan satu miligram per kilogram. Formalin pada plastik atau styrofoam ini, lanjutnya, merupakan senyawa-senyawa yang terkandung dalam bahan dasar plastik.

Namun, kata dia, zat racun tersebut baru akan luruh ke dalam makanan akibat kondisi panas, seperti saat terkena air atau minyak panas. Karenanya, menurut Lanita, makanan yang masih panas jangan langsung dimasukkan ke dalam plastik atau kotak styrofoam. Bersama formalin, luruh pula zat yang tak kalah racunnya yakni stiarin, yang biasa terkandung pada plastik.

Lanita juga memberi perhatian khusus untuk pembungkus makanan berbahan dasar styrofoam. Seperti plastik, styrofoam mengandung muatan zat racun, terutama stiarin. Oleh sebab itu, hidangan panas yang akan disajikan ke dalam kotak styrofoam sebaiknya didinginkan dahulu dan diberi alas daun, jangan plastik.

Dengan sifat-sifatnya seperti itu, sudah selayaknya kita lebih berhati-hati menggunakan styrofoam. Kalau hendak menggunakan styrofoam untuk menjaga makanan tetap hangat, sebaiknya makanan dimasukkan terlebih dahulu dalam wadah tahan panas dan dijaga tidak ada kontak langsung dengan styrofoam.

Dedy Ardiansyah >> Global | Medan
Oleh Yeni Kurniawi - Tuesday 22 May 2007 - 09:48:09