Sunday, March 31, 2013

Just sign here: That isn’t real informed consent

http://www.kevinmd.com/blog/2013/03/sign-real-informed-consent.html
 | PHYSICIAN


Before patients can become savvy consumers of healthcare, they need information about their healthcare choices.  Too often, such information is nearly impossible to get, especially when it requires doctors to give patients useful statistics about things like treatment side effects.
Since publishing Critical Decisions this fall, I have received a number of emails from readers who have recognized their own medical histories in the pages of my book.  I received a particularly entertaining email from a professor in Canada, who relayed the following story.
He was in an emergency room suffering from kidney stones.  And for those of you who have never experienced kidney stones, take it from my mother: they are insanely painful.  “Worse than having twins,” she told me.  (And this from a woman who, when I asked her how much it hurt to give birth to me, answered: “Ever tried to fart a football?”)
Suffice it to say, then, that Professor Mike was in a whole lot of pain, at least until they gave him a dose of morphine.  Then they decided they needed to further diagnose his problem.
“You need a kidney x-ray,” he was told by the emergency room physician.  Such an x-ray can show whether a huge stone is causing a dangerous blockage of urinary flow.  Professor Mike nodded obediently.  Then an x-ray tech showed up at his bedside and the conversation went something like this:
“You need to drink this dye before your x-ray.”
“Ok.”
“The dye does have some side effects.  It could cause a rash or it could cause death,” the tech continued.  “Just sign here and we can take you to radiology.”
“Umm, are you telling me that the chance of a rash is the same as a chance of death?,” Professor Mike asked.
“Umm, there is a small probability of either one happening.”
“What, exactly, are those probabilities?”
The tech turned and left the room, frazzled by the professor’s unwillingness to sign the informed consent document without more information.  A couple minutes later, the radiologist returned: “I understand you want more information.  But we are reluctant to give patients specific probabilities of side effects, because we have learned that such numbers confuse them.”
Professor Mike, with his advanced training in statistics, was unlikely to be confused by a few simple probabilities, so he pushed back and asked the doctor to give him estimates: “I don’t know them,” the radiologist responded.
“Don’t know them?  So what’s the real reason you don’t tell patients—you think the probabilities will confuse them, or you don’t know the probabilities?”  Professor Mike, even with morphine coursing through his system, kept a clear head in the face of this absurd situation.  He decided to help the radiologist think through the issue:
“Approximately how many x-rays like this has your hospital done in the last few years?,” he asked.
“Oh, at least 350,” the radiologist responded.
“And how many deaths?”
“None.”
“Ok,” said Professor Mike.  “I will sign the form.  But if I die, my wife will sue the hell out of you, because this is not informed consent!”
Peter Ubel is a physician and behavioral scientist who blogs at his self-titled site, Peter Ubel and can be reached on Twitter @PeterUbel.  He is the author of Critical Decisions: How You and Your Doctor Can Make the Right Medical Choices Together

Tuesday, March 19, 2013

Kalau Disajikan Begini, si Kecil Pasti Doyan Sayuran

http://www.okefood.com/read/2013/03/19/299/778373/kalau-disajikan-begini-si-kecil-pasti-doyan-sayuran

Dewi Yanti - Okezone

detail berita

SERING mengalami kesulitan memaksa anak menyantap sayuran? Ajaklah anak “bermain” sambil menikmati sayuran dengan menyajikan boneka sayuran.

Penyajian yang kreatif dan seru meerupakan salah satu cara mendorong anak suka menu makanan sehat. Gunakan sayuran berwarna, seperti brokoli, baby carrot, tomat ceri, mentimun, dan kembang kol.

Bahan tambahan yang Anda perlukan adalah dressing salad ukuran personal serta piring besar untuk menjajarkan tiga boneka sayuran yang ekspresif. Berikut langkah-langkah membuat boneka sayuran yang seru sehingga anak makan sayuran bukan lagi hal mustahil, seperti diulas Shekows:

1. Mulailah dengan menyiapkan dressing salad di atas piring besar, buka penutupnya, dan biarkan tetap berada dalam kemasan berukuran kecil. Jajarkan tiga dressing salad agak di tepi atas untuk membuat tiga kepala boneka sayuran yang berbeda. Kemudian, letakkan sayuran seperti brokoli, kembang kol, atau potongan baby carrot di atas dressing salad untuk membuat rambut.

2. Iris tipis baby carrot untuk membuat hiasan mata. Buatlah sepasang yang nanti diletakkan di atasdressing salad.

3. Ambil mentimun dan iris-iris, usahakan agar irisan mentimun tetap berdampingan. Letakkan di bagian bawah dressing salad untuk membentuk tubuh boneka sayur.

4. Gunakan sepasang baby carrot untuk membuat lengan. Buatlah dalam dua bagian, sepasang baby carrot untuk lengan atas dan sepasang untuk lengan bawah. Kreatiflah menata baby carrot seakan boneka sayuran sedang kebingungan, mecari sesuatu atau bergaya centil.

5. Lakukan proses yang sama menggunakan baby carrot untuk membentuk kaki. Anda juga harus membuat ekspresi unik dari kaki boneka sayuran, seperti boneka sayuran sedang berjalan, menari, atau buat gaya secentil mungkin yang disukai anak Anda.

6. Terakhir, gunakan tomat untuk tangan dan kaki boneka sayuran Anda. Letakkan di masing-masing ujung lengan dan kaki. Nah, boneka sayuran anak Anda telah jadi. Jadikan sebagai camilan sehat untuk si buah hati. (ftr)

Tips bagi Pekerja Shift Malam agar Tidur Nyenyak

http://health.detik.com/read/2013/03/19/185546/2198319/766/tips-bagi-pekerja-shift-malam-agar-tidur-nyenyak?l992205755
Linda Mayasari - detikHealth



Jakarta, Kurangnya jam tidur dan pergeseran jam biologis tubuh yang dialami oleh pekerja shift malam, diketahui memiliki risiko kesehatan yang serius, seperti kegemukan, diabetes, kanker, dan penyakit jantung. Untuk meminimalisir risiko tersebut, Anda perlu lebih memperhatikan kualitas tidur.

Bekerja dengan sistem shift merupakan sebuah tuntutan dan tidak bisa dielakkan lagi bagi petugas pemadam kebakaran, polisi atau pekerja medis. Sehingga Anda perlu menyusun rencana untuk membantu tubuh menyesuaikan diri dengan jam kerja yang tidak teratur.

Seperti dikutip Besthealth, Selasa (19/3/2013), berikut adalah tips-tips agar pekerja shift mampu mendapatkan kualitas tidur yang baik dan mengurangi risiko berbagai penyakit akibat pergeseran waktu tidur, antara lain:

1. Melewatkan peluang
Shift kerja benar-benar dapat memberikan tekanan yang besar bagi tubuh dan waktu. Hal ini menempatkan seseorang pada risiko kesehatan dan membuat waktu berkumpul dengan keluarga semakin berkurang.

Bahkan, meski Anda membutuhkan tambahan penghasilan pun, berpikirlah dua kali sebelum menerima tawaran untuk bekerja lembur atau shift malam. Biaya yang diperlukan untuk mengatasi risiko kesehatan ke depannya, mungkin jauh lebih tinggi dari pendapatan tambahan.

2. Komunikasikan dengan pasangan
Shift kerja membuat Anda tidak memiliki banyak waktu bersama keluarga, sehingga Anda perlu mengkomunikasikan pilihan Anda untuk bekerja shift malam dengan keluarga. Berikan pengertian pada pasangan bahwa Anda mungkin tidak mampu melakukan tanggungjawabnya untuk mengurus anak-anak sepenuhnya pada hari-hari kerja.

3. Berikan peringatan pada tubuh selama 3 hari
Ketika Anda mengalami perubahan besar dalam jadwal kerja yang mengharuskan Anda untuk bekerja shift malam, mulailah mengubah waktu tidur sejak 3 hari sebelumnya. Pada hari pertama, jika biasanya Anda tidur pukul 22.00, tundalah tidur hingga pukul 24.00.

Begitu juga pada hari kedua dan ketiga dengan menambahkan waktu tunda secara bertahap. Hal ini bertujuan agar tubuh tidak terlalu kaget dengan perubahan siklus tidur dan mampu menyesuaikan diri dengan cepat.

4. Pertahankan jadwal tidur
Anda perlu menjaga agar jadwal tidur-bangun teratur pada waktu yang hampir sama setiap harinya. Hal ini bertujuan agar tubuh dapat memahami siklus kapan Anda perlu terjaga dan kapan Anda perlu tidur.

5. Pergeseran shift disesuaikan searah jarum jam
American Academy of Sleep Medicine merekomendasikan orang-orang yang bekerja dalam shift berputar, sebaiknya meminta sang manajer untuk menjadwalkan pergeseran berikutnya searah dengan jarum jam, dimana shift baru dimulai lebih lambat dari sebelumnya.

Misalnya, jika Anda baru saja menyelesaikan shift kerja dari pukul 03.00-11.00, Anda akan lebih waspada dan tidur lebih baik jika pergeseran shift berikutnya adalah dari pukul 11.00-07.00.

6. Bangun dan berjalan-jalan di luar rumah
Jangan menghabiskan waktu Anda di siang hari hanya untuk tidur, dengan alasan mengganti jam tidur di malam hari. Tetapi Anda juga perlu mendapatkan sinar matahari, sehingga begitu bangun tidur berjalan-jalanlah atau berolahraga di luar rumah.

Sinar matahari akan memberi isyarat jam biologis bahwa sudah waktunya untuk kembali waspada dan siap untuk bekerja kembali di malam hari.

7. Jangan mengemudikan kendaraan sendiri
Sebanyak dua per tiga dari pekerja shift melaporkan bahwa dirinya selalu pulang bekerja shift dalam keadaan mengantuk dan masih harus mengemudikan kendaraan. Padahal mengemudi sambil mengantuk merupakan penyebab kecelakaan lalu lintas terbesar.

Lebih baik naik kendaraan umum, menyewa taksi, atau meminta salah seorang anggota keluarga untuk menjemput Anda seusai bekerja shift malam.

8. Menciptakan suasana rumah yang kondusif untuk tidur
Komunikasikan dengan pasangan dan anak-anak agar menjaga suasana rumah tetap tenang, sehingga Anda dapat tidur dengan nyenyak.

Saturday, March 16, 2013

The key to preventing a stroke? One coffee and four cups of green tea a day, say scientists

http://www.dailymail.co.uk/health/article-2293446/The-key-staving-stroke-One-coffee-cups-green-tea-day-say-scientists.html
By NICK MCDERMOTT, SCIENCE REPORTER

Four cups of green tea a day may reduce the risk of stroke by 20 per cent

When it comes to choosing between tea or coffee, the best answer may be to opt for both.

Scientists have found that individuals who enjoy a daily cup of coffee were 20 per cent less likely to have a stroke compared to those who shunned the drink.
And those that drank at least four cups of green tea a day also benefitted from a similarly reduced stroke risk.
But as the popular beverages are thought to protect against the often fatal condition in different ways, the study suggests regularly drinking both could provide the greatest benefit.
Researchers looked at the drinking habits of almost 84,000 Japanese adults over a 13-year period.
'This is the first large-scale study to examine the combined effects of both green tea and coffee on stroke risks,' said lead author Dr Yoshihiro Kokubo, from Japan's National Cerebral and Cardiovascular Centre. 
'You may make a small but positive lifestyle change to help lower the risk of stroke by adding daily green tea to your diet.' 
The study, published in American Heart Association's journal Stroke, found that the greater amounts of coffee or green tea consumed, the lower their stroke risk.
The report found that 'combination of higher green tea and coffee consumptions contributed to the reduced risk of stroke as an interaction effect for each other.'
But even in lower quantities, green tea helped protect against the condition, with those drinking between two to three cups seeing their chance of a stroke fall by 14 per cent.
Participants in the study were 45 to 74 years old and were free from cancer and cardiovascular disease, and all the findings were adjusted to take into account age, sex and lifestyle factors like smoking, alcohol, weight, and exercise.
Green tea drinkers in the study were more likely to exercise compared to non-drinkers, while coffee drinkers tended to be younger, and were more likely to smoke and take exercise.
Green tea drinkers in the study were more likely to exercise compared to non-drinkers, while coffee drinkers tended to be younger, and were more likely to smoke and take exercise

Although it is unclear how green tea affects stroke risks, scientists believe a compounds known as catechins may provide some protection to blood vessels.

Several chemicals in coffee are believed to provide a boost to health, including caffeine and chlorogenic acid, which researchers suggest could help cut stroke risks by lowering the chances of developing type 2 diabetes.

Both drinks also helped to protect from the risk of heart attacks, according to the researchers.
'The regular action of drinking tea, coffee, largely benefits cardiovascular health because it partly keeps blood clots from forming,' said Dr Kokubo.' 

Research last year found the more coffee you drink, the less likely you are to die from a number of different ailments, including heart disease, respiratory disease, diabetes and infections - but not cancer.

Researchers at the National Cancer Institute, National Institutes of Health, Maryland, said they could not establish whether coffee was the cause of a lowered risk of death, but there was definitely a link.

The research, published in The New England Journal of Medicine, followed 229,000 men and 173,000 women aged between 50 and 71, between 1995 and 2008. Participants were classified according to how much coffee they drank.

There were 52,000 deaths during the period, with an 'inverse association' between coffee consumption and death. This means the greater the amount of coffee participants drank, the lower their risk of dying during the study.


Children Who Avoid Scary Situations Likelier to Have Anxiety, Mayo Clinic Research Finds

http://www.mayoclinic.org/news2013-rst/7365.html
Monday, March 11, 2013
ROCHESTER, Minn. — Children who avoid situations they find scary are likely to have anxiety a Mayo Clinic study of more than 800 children ages 7 to 18 found. The study published this month inBehavior Therapy presents a new method of measuring avoidance behavior in young children.
The researchers developed two eight-question surveys: the Children's Avoidance Measure Parent Report and the Children's Avoidance Measure Self Report. The questionnaires ask details about children's avoidance tendencies, for instance, in addressing parents, "When your child is scared or worried about something, does he or she ask to do it later?" It also asks children to describe their passive avoidance habits. For example: "When I feel scared or worried about something, I try not to go near it."
One of the most surprising findings was that measuring avoidance could also predict children's development of anxiety. Children who participated in the study showed stable anxiety scores after a year had passed, but those who described avoidance behaviors at the onset tended to be more anxious a year later.
"This new approach may enable us to identify kids who are at risk for an anxiety disorder," says lead author Stephen Whiteside, Ph.D., a pediatric psychologist with the Mayo Clinic Children's Center. "And further, because cognitive behavior therapy focuses on decreasing avoidance behaviors, our approach may also provide a means to evaluate whether current treatment strategies work they we think they do."
In 25 anxious children surveyed following cognitive behavior therapy that slowly exposed children to the situations that caused fear, the avoidance scores from surveys of their parents declined by half. This likely indicates that part of the reason they're getting better is that they're no longer avoiding things, Dr. Whiteside says.
"Even after controlling for their baseline anxiety, those who avoided had more anxiety than kids who didn't avoid," Dr. Whiteside says. "That was consistent with the model of how anxiety disorders develop. Kids who avoid fearful situations don't have the opportunity to face their fears and don't learn that their fears are manageable."
Most children experience fears of one kind or another, but for some children those fears become heightened as part of an anxiety disorder. When children begin to avoid scary situations, anxiety disorders can become particularly disabling, preventing participation in everyday activities. Even though several methods exist to gauge children's fearful thinking and symptoms like feeling nervous, clinicians have had few tools until now to measure avoidance behaviors.
Dr. Whiteside is the developer of the Mayo Clinic Anxiety Coach, an iPhone app that helps individuals learn about anxiety, gauge and manage their symptoms, and make lists of activities to help them face their fears. The study was funded by Mayo Clinic Department of Psychiatry and Psychology.

Wednesday, March 13, 2013

The Stress Bubble How we inflated the idea of anxiety

http://www.newrepublic.com/article/112589/one-nation-under-stress-dana-becker-reviewed?utm_source=The+New+Republic&utm_campaign=ad433bde66-TNR_Daily_031313&utm_medium=email#
ALEXANDER NAZARYAN

Are you as stressed out as I am? I only ask because, frankly, you look a little stressed. It must be the job. Or maybe the marriage. I mean, there’s so much to be stressed out about. Just look at the newspaper. Look at your bank account. Is your blood pressure rising yet? Well, you need yoga. No, wait, you need a drink. You need to relax. Because, with the way things are going, this stress is going to kill you.

That’s more or less the sort of bourgeois hysteria Dana Becker wants to flush out of our collective nervous system in One Nation Under Stress: The Trouble With Stress as an Idea. The book is a popular history of the especially au courant sort that will, I suspect, reach its apotheosis (or nadir) in a cultural history of the sneeze. As far as the genre goes, though, this is a fine entry, with Becker rather nimbly translating her obviously thorough academic research into readable prose. To her credit, she avoids both pandering to popular tastes and, on the other extreme, slipping into the professor’s phlegmatic tones. She does have the rather amusing tendency to pellet her sources with [sic]s, but that’s nothing to get worked up about.
Then again, Becker is plenty worked up throughout this book, and refreshingly so—intelligent anger is essentially extinct in today’s public sphere. Her primary objection is to our “elevating stress to the status of an actual disease,” which “has helped us avoid tackling larger social problems.” Not only are we all too ready to diagnose stress, Becker says, but then we revel in it, because it “mingles a certain pride in the fast pace of life with worry about its effects.” A similar argument proffered by Tim Kreider in an Op-Ed called “The ‘Busy’ Trap” made it one of The New York Times' ten most e-mailed articles of 2012. Both suggest that stress has become a status symbol, like an Ivy League sticker glaring from the back of a Volvo: I am important enough to have things to worry about.
Stress is a squishy concept, but just because it’s amorphous doesn’t mean it’s ahistorical. Far from it. Becker notes that Revolutionary War troops were thought to suffer from “Revolutiana.” While women trapped in what Becker calls their “gilded cages” had long suffered from the specious diagnosis of hysteria, it was the mid-nineteenth century neurologist George M. Beard who popularized the term “neurasthenia” to capture the budding anxieties of a rapidly growing nation. Becker brands neurasthenia a “particularly American disease,” since “the neurasthenic embodied both the upward trajectory of American life and the high price Americans were paying for rapid industrial growth and increasing materialism.” In other words, it was our ambition that caused our affliction, with the two becoming conflated in turn-of-the-century terms like “nervous bankruptcy.”
The idea of stress was further bolstered by the Mental Hygiene Movement of the Progressive Era, with its emphasis on cleaning out the dusty tenements of the mind. But it was not until Hans Selye published The Stress of Life in 1956 that stress became the meaningless catchall it remains today. A native of Hungary who came to the United States in 1931, Selye decided to treat the hardships of the Great Depression and World War II as psychological cataclysms, rather than purely social ones, thus setting into motion the machinery Becker rails against. A precursor of the self-help hucksters of our age, at one point, Selye cautions that “our reserve of adaptation energy is an inherited finite amount.” If you don’t know what adaptation energy is or how Selye measured its finitude, I am sorry to say that neither do I. Neither does anyone else, I suspect. Regardless, his idea stuck.
Becker is especially astute in pointing out how stress has been “gendered,” if I can dust off a verb from Intro to Lit Theory. Today’s stress, after all, is a not-so-distant cousin of the hysteria that was thought to afflict women; indeed, Becker is most deft in drawing out how society cruelly delights in praising women for how much they do while warning them in the same breath that they can’t do it all.1 Not that men get off easy. Reprising, to a degree, an argument made by Susan Faludi in Stiffed: The Betrayal of the American Man, Becker says that modern society has deprived men of their traditional roles. The man in the gray flannel suit found himself both more aware and less capable of dealing with inward strife, so that Time magazine was lamenting by 1960 that “Many a young man rising fast in his profession is sinking fast physically.” The male version of stress, then, is the bundle of frustrations that comes with the nine-to-five cubicle grindwhich, given today’s prudish mores, can’t even be alleviated by the imperfect-but-effective Don Draper triumvirate of Scotch, smoking, and strumpets.
But today, not only has the notion of being stressed-out come to embody a whole host of issues that may have non-mental underpinnings, but we are constantly told that we can marshal what the poet John Berryman smirkinglycalled our “inner resources” to wage an effective battle against this invisible enemy. This is Becker’s objection to the culture of stress: Stress exists, but it’s been blown out of proportion, falsely rendered, and has spawned an entire ecosystem of pseudo-psychological empowerment, from therapy to VitaminWater that purportedly offers relaxation.
Stress is not the issue, Becker says. Life is difficult, unknowable and often harrowing, and there is no use pretending that two minutes spent in downward dog is going to change all that. One more inclined to philosophy than sociology might note that we have replaced Kierkegaard’s prevailing anxiety about existence with a far more mundane unease, one we think we can eliminate precisely because it is earthbound.
The counterargument to all this is that our increasing awareness of stress reflects society’s increasing awareness of psychological ailments. It is, of course, comforting that the days of One Flew Over a Cuckoo’s Nest are long behind us and that one of our most popular television shows (“Homeland”) can deal with bipolar disorder with neither mawkishness nor condescension. But Becker deftly anticipates this counterattack, claiming that we have gone too far in medicalizing our lives: “The boundary between what belongs in the medical domain and what doesn’t has become more and more elastic.” She points to the DSM-V as chronicling every conceivable instance of distress, down to a broken fingernail. When absolutely everything is an ailment, then nothing truly is.
And Becker is especially adamant that the things we point to as the causes of stress actually stem from identifiable, concrete social or economic problems. She takes to task, for example, Andrew Solomon for writing in The New York Times Magazine that “poverty is depressing.” The issue for the poor is money, not serotonin; gay youth don’t need alleviation from stress, but tough penalties for bullies. She even applies this logic, carefully, to PTSD, making the point that war is hell, not stress. There are 175 ways to diagnose PTSD, and some 20,000 troops in Afghanistan and Iraq were on meds for “temporary stress injuries” and “stress illnesses” by 2008. These men and women may well need help, yet stress, in the end, winds up being a too-easy explanation of why we fight, who does the fighting for us, and how we make sure those fighters are integrated healthfully back into peacetime society.
Ultimately, I think that what Becker most fears is that the stress concept deadens us to experience–whether the experience of a soldier, a mother, or a spreadsheet jockey. Stress is a facile means of encapsulating everything about experience that’s objectionable, and then deaden it with pharmacological friends like Valium. As Becker asks at one point, “Is suffering normal or not?” The question is obviously rhetorical. Worse yet, I’m afraid the answer is not a particularly calming one.
Alexander Nazaryan is on the editorial board of the New York Daily News, where he edits the Page Views book blog. He is at work on his first novel. Follow@AlexNazaryan.

Thursday, March 7, 2013

HOMOSEKSUALITAS: NATURE ATAU NURTURE?

http://kesehatan.kompasiana.com/seksologi/2011/03/03/homoseksualitas-nature-atau-nurture-344824.html
Nur Azizah Fadhilah


Fenomena homoseksual bukan merupakan hal yang baru dalam masyarakat. Jika dahulu perilaku homoseksual dianggap tabu, kini tidak lagi. Banyak orang yang mengaku bahwa dirinya termasuk kaum homoseksual secara terbuka, bahkan bangga. Di Belanda misalnya, undang-undang yang melegalkan pernikahan dengan sesama jenis telah disahkan. Banyak orang yang menggelar acara pernikahan di sana agar status mereka sebagai homoseksual diakui secara hukum.

Secara normal, setiap orang akan merasa tertarik kepada orang lain dengan jenis kelamin yang berbeda, yaitu antara pria dan wanita. Keadaan tersebut kemudian menjadi abnormal saat ketertarikan secara seksual bukan lagi terhadap lawan jenis, tetapi kepada sesama jenis. Ini kemudian dikenal sebagai penyimpangan seksual. Tidak hanya homoseksual, penyimpangan seksual memiliki berbagai macam jenis seperti exhibitionism, fetishism, frotteurism, pedophilia, masochism, sadism, voyeurism, dan lain-lain. Klasifikasi penyimpangan seksual tersebut tergantung pada penyebab terjadinya sexual arousal atau pemicu seksual. Pada perilaku seksual yang menyimpang, sexual arousal terjadi karena hal-hal tertentu yang dianggap tidak normal di mata masyarakat, seperti ketertarikan pada hewan, bahkan mayat, yang kemudian dapat merangsang hasrat seksual.

Pelaku homoseksual menyukai sesama jenis. Perempuan menyukai perempuan dan pria menyukai sesamanya bukan lagi menjadi suatu hal yang mengejutkan. Hal tersebut karena fenomena homoseksualitas dapat ditemui di sekitar kita. Dari komentar masyarakat yang dihimpun dalam Kompas online tentang homoseksual, beberapa komentar mereka mengarah pada ketidakterimaan masyarakat akan orang-orang yang menganggap gay itu harus dijauhi. Bahkan, masyarakat menganggap bahwa menjadi seorang gay dan lesbian adalah hal yang wajar. Banyak pula pernyataan yang dijadikan dalih sehingga kaum homoseksual tetap dipertahankan, yaitu bahwa mereka juga manusia, sama seperti kita. Selain itu, terdapat pula komentar yang menyatakan bahwa homoseksual adalah sebuah bentuk abnormalitas seksual sehingga tidak terdapat pihak yang dapat disalahkan dalam keadaan ini. Pro kontra mengenai homoseksualitas inilah yang perlu dikaji lebih lanjut.

Dilihat dari perspektif biologis, tidak salah jika banyak orang menganggap homoseksual merupakan sebuah penyakit keturunan. Setiap orang dilahirkan dengan tingkat hormon yang berbeda-beda. Beberapa orang dilahirkan dengan tingkat hormon yang tinggi, yang menyebabkan dorongan seksualnya juga tinggi. Seringkali orang-orang dengan libido yang tinggi tersebut tidak mampu menyalurkan hasrat seksualnya. Orientasi seksual mereka pun berubah, tidak lagi ketertarikan terhadap lawan jenis, tetapi ketertarikan terhadap sesama jenis maupun hal-hal lain yang dapat memuaskan hasrat seksual mereka.

Faktor lingkungan sekitar pun berperan penting dalam hal ini. Faktor ini berpengaruh besar dalam membentuk pemikiran yang akhirnya mempengaruhi individu dalam mengarahkan orientasi seksualnya. Faktor lingkungan membuat seorang individu mempelajari hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Berbeda dengan perspektif biologis, mempelajari suatu perilaku dari lingkungan sekitar disebut juga learning theory.Learning theory juga memegang peranan penting mengenai penolakan terhadap homoseksual dan memberikan rangsangan yang benar terhadap orientasi seksual.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian besar media yang justru menciptakan sebuah kultur yang membuat kaum homoseksual terlihat seolah-olah benar dan tidak menyimpang. Di sisi lain, para lesbian, gay, biseksual, transgender/trans-seksual (LGBT) meminta masyarakat untuk tidak selalu memojokkan dan melakukan kekerasan terhadap mereka. Pasalnya, mereka saat ini masih dianggap orang terpinggirkan dan sampah bagi masyarakat. Padahal mereka juga mempunyai hak yang sama di masyarakat. Kekerasan baik verbal maupun fisik banyak terjadi dan tidak ada respon dari keluarga para LGBT akibat kurangnya kesadaran akan persamaan hak di masyarakat.

DASAR TEORI

a. Nature dan Nurture

Telah bertahun-tahun para psikolog menggeluti masalah perbedaan antarmanusia dan mereka terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang pertama yaitu nativist, adalah pihak yang menekankan pada gen dan karakteristik dasar (yang ada sejak lahir) atau nature. Kubu yang lain adalah golongan empiricist yang lebih menitikberatkan proses belajar dan pengalaman, yang disebut nurture. Edward L. Thorndike (1903), salah seorang psikolog terkemuka pada tahun 1900-an memihak kubu pertama ketika ia membuat pernyataan bahwa “Dalam kehidupan manusia, faktor yang paling menentukan adalah hereditas”. Akan tetapi, peneliti yang sezaman dengannya, yaitu John B. Watson (1925), seorang tokoh behavioris dalam ungkapannya yang sangat terkenal, menyatakan bahwa pengalaman mampu menuliskan segala pesan pada tabula rasa-lembaran putih bersih-sifat dasar manusia.

Konstribusi nature dan nurture membentuk kesamaan maupun perbedaan antarmanusia. Penelitian dalam genetika perilaku (behavioral genetic) berupaya mengungkap konstribusi dari hereditas (faktor keturunan) dan faktor lingkungan untuk menjelaskan perbedaan individual dalam karakteristik manusia. Kini hampir tidak ada lagi yang orang yang memperdebatkan masalah nature dan nurture. Sebagaimana pernah ditulis oleh seorang ilmuwan, “Perdebatan tentang nature dan nurture telah selesai”[1]. Hampir semua psikolog dewasa ini memahami bahwa pembawaan hasil keturunan dan lingkungan selalu berinteraksi dan menghasilkan bukan hanya sifat-sifat psikologis, namun juga sebagian besar ciri-ciri fisik. Pertama, gen mempunyai dampak bagi pengalaman kita. Di sisi lain, pengalaman memengaruhi gen. Tekanan stres, pola makan, emosi, dan perubahan hormon dapat memengaruhi gen yang aktif maupun yang tidak aktif pada saat-saat tertentu selama hidup seseorang.

Pentingnya perbandingan hereditas dan lingkungan adalah persoalan besar di antara para psikolog dan masyarakat umum. Saat ini telah jelas bahwa walaupun beberapa gangguan fisik langka 100 persen adalah keturunan, kecenderungan untuk kebanyakan kondisi normal merupakan hasil kekuatan herediter dan lingkungan yang kompleks.

b. Homoseksualitas

Homoseksualitas adalah hubungan seksual sesama jenis, dan biasanya ditujukan untuk menyebut baik ketertarikan atau hubungan seksual antar sesama jenis pria maupun sesama jenis wanita. Homoos (bahasa Yunani) berarti sama. Istilah ini pertama muncul di tahun 1986 dalam tulisan Karl-Maria Kertbenny. Homoseksual pria disebut gay, sedangkan yang wanita disebut lesbi/lesbian[2]. Perilaku homoseksual dianggap sebagai sebuah kelainan, bahkan sebagai sebuah penyakit. Sebagai upaya penyembuhan dilakukan terapi psikologis, pemberian obat-obatan, dan sebagainya. Hingga pada tahun 1973, American Psychiatric Assosiation (APA), menyatakan bahwa perilaku homoseksual bukanlah sebuah kelainan, melainkan sebuah orientasi seksual atau pilihan (preference). Pernyataan ini menimbulkan perubahan yang cukup besar, seperti diadakannya undang-undang pernikahan antar sesama jenis di beberapa negara bagian di Amerika Serikat dan negara-negara lain, seperti Kanada dan Belanda. Hanya saja persepsi dan perlakuan negatif terhadap kaum homoseksual yang dilakukan secara individual tidak dapat dihindari ataupun dikurangi.

Proses identifikasi homoseksual
Ada empat tahap yang biasanya dilalui oleh seorang individu dalam proses pengindentifikasian dirinya sebagai seorang homoseksual, atau biasanya disebut dengan istilah coming-out. King (1991) menjabarkan tahap-tahap tersebut sebagai berikut:

1. Menyadari diri sebagai seorang homoseksual. Biasanya terjadi di awal masa kanak-kanak (di bawah usia 15 tahun), atau nanti saat mencapai usia dewasa muda bahkan mungkin setelah menikah. Tahap ini biasanya dilewati dengan rasa kesepian, bingung, dan terkadang menyakitkan. Hal ini mungkin karena individu menyadari bahwa dirinya berbeda dari orang-orang di sekitarnya, atau adanya pengalaman seksual yang tidak menyenangkan (misalnya pernah dilecehkan atau bahkan diperkosa);

2. Mulai mengenal orang-orang homoseksual. Tahap ini mungkin tidak akan terjadi sebelum usia dewasa muda. Melalui tahap ini, biasanya individu akan mulai menjalin hubungan pertemanan, mulai berkencan, dan hubungan intim jangka panjang dengan sesama homoseksual. Dengan mengenal komunitas homoseksual maka rasa tidak berharga atau terisolasi dapat dikurangi, bahkan ada kemungkinan individu dapat tertarik pada kegiatan politik seperti menjadi aktivis mengenai hak-hak kaum kaum homoseksual;

3. Memberitahu orang-orang terdekat, seperti teman dan terutama keluarga. Ada banyak sekali homoseksual yang belum atau bahkan sama sekali tidak melalui tahap ini. Saat memberitahu, ada kemungkinan ditolak, tidak diakui, dan terjadinya konflik, atau justru mempererat hubungan keluarga dan mendapatkan dukungan penuh. Kasus yang banyak sekali terjadi adalah pemberitahuan secara parsial, yaitu hanya memberitahu teman-teman tetapi tidak memberitahu keluarga atau sama sekali tidak memberitahu siapa pun, namun terlibat dalam hubungan seksual di bar atau klub malam. Hal ini dapat menuju pada rasa stres yang luar biasa karena individu menjalankan dua kehidupan yang berbeda dan prioritas di antara keduanya sulit diutamakan salah satunya;

4. Keterbukaan secara menyeluruh. Dalam tahap ini, rekan kerja, pegawai, dan semua orang yang berada di sekitar individu mengetahui bahwa dirinya adalah seorang homoseksual. Seorang homoseksual yang mencapai tahap ini dianggap telah mencapai kondisi seksualitas yang sehat karena telah menerima diri mereka sendiri.

ANALISIS DATA

Dari data-data yang dikumpulkan, terdapat fakta-fakta sebagai berikut:

a. George Rice, peneliti dari Universitas Northwestern, Ontario, Kanada, menemukan bahwa pada pria gay yang ditelitinya, ternyata tak dijumpai keanehan pada kromosom Xq 28. Penemuan itu diperolehnya setelah meneliti 52 pasangan gay, yang ternyatafrekuensi Xq 28 sangat sedikit ditemukan. Menurutnyabeberapa peneliti memang menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran penelitiannya, namun dia tidak pulamembuktikan bahwa temuan mereka salah. Hal tersebut disebabkan karena penelitian itu berskala kecil, sedangkan gen yang spesifik memang sangat sulit ditemukan. Rice sendiri mengakui, ia tak hendak meniadakan hipotesis bahwa homoseksual berhubungan dengan faktor genetis. Ia hanya menemukan bahwa Xq 28 bukanlah segmen yang berhubungan dengan orientasi seksual kepada teman sejenis. Oleh karena itu, penelitian faktor genetis pencetus homoseksual harus dilanjutkan. Namun,dia sangat yakin dengan temuannya, terutama karena ia telah melakukan dua studi lanjutan yang memperkuat penelitian sebelumnya. Karena itu, baginya penelitian Rice diartikan sebagai bukti bahwa tidak semua kasus homoseksual disebabkan oleh Xq 28.

b. Sejak tahun 1973 para dokter dan psikolog yang terhimpun dalam APA (American Psychiatric Association) telah menghapus homoseksual dari daftar penyakit kejiwaanatau lebih dikenal dengan istilah DSM MD IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV). Sejak tahun 1900, studi masalah homoseksualitas lebihditekankan pada behavioral genetics melalui Human Genome Project di National Institutes of Health yang disponsori oleh Amerika. Namun, bagi sebagian besar oranghal ini masih dianggap kontroversial. Hal itu karena karakteristik perilaku misalnyaorientasi seksual bersifat melibatkan beberapa gen yang bersangkut paut dengan perilaku seksual.

c. Menurut penelitian Doktor Wahyuning Ramelan, ahli genetika kedokteran Universitas Indonesia, jika benar seorang pria menjadi gay karena keturunan, orang tuanya juga harus diteliti. Kalau gen pria yang disebutkan sebagai penyebab homo itu terdapat pada kromosom X, sifat ini hanya bisa diturunkan lewat ibunya. Seperti diketahui, seorang wanita berasal dari dua kromosom X, sedangkan pria berasal dari satu X dan satu Y. Ketika terjadi pembuahan, kromosom X yang diturunkan pada anak laki-laki merupakan sumbangan dari ibunya, bukan bapaknya. Untuk itu, perlu ada pemeriksaan pada kromosom ibunya. Namun, kalau ternyata ibunya tidak membawa kromosom homoseks, boleh jadi kelainan gen yang dialami anak berasal dari mutasi. Jika penelitian tersebut benar, kemungkinan munculnya pria gay juga sangat kecil.

d. Adanya proses identifikasi homoseksual, sehingga seorang individu melalui tahap-tahap hingga sampai pada sikap terbuka pada orang lain, yaitu tahap penyadaran, mengenal komunitas, dan memberitahu orang-orang terdekat. Hal ini menguatkan bahwa lingkungan berpengaruh besar terhadap kecenderungan homoseksualitas seseorang yang disebabkan oleh berbagai aspek yaitu pengalaman homoseksual dini, hubungan keluarga yang kacau menyebabkan kurangnya peran satu di antara orang tua sehingga kurang bisa merasakan kebutuhan akan lawan jenis, serta minimnya kontak dengan lawan jenis.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian rumusan masalah yang dipaparkan pada bagian pendahuluan, dapat disimpulkan bahwa:

a. Adanya kaum homoseksual lebih disebabkan oleh faktor lingkungan dan pergaulan. Meskipun seseorang memiliki gen homoseks, belum tentu ia berperilaku gay karena hal tersebut bergantung pada lingkungan dan pergaulannya. Sebaliknya, jika seseorang tak mempunyai gen homoseks namun sehari-hari berkumpul dengan pria gay, kemungkinan besar dia kelak akan menjadi gay.

b. Meskipun menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku homoseksual lebih disebabkan oleh lingkungan, namun kita harus tetap menyikapi eksistensi mereka dengan penuh toleransi, tidak menghakimi, dan saling menghargai.

Referensi:

Wade, Carol. dan Tavris, Carol.2007. Psikologi, Edisi Kesembilan, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga

HazwanendaRizky Khairani. 2010. Gambaran Self Efficacy Penggunaan Kondom pada Pria Homoseksual di Masa Dewasa MudaSkripsi. Jakarta: Prodi Psikologi Universitas Paramadina