Thursday, March 7, 2013

HOMOSEKSUALITAS: NATURE ATAU NURTURE?

http://kesehatan.kompasiana.com/seksologi/2011/03/03/homoseksualitas-nature-atau-nurture-344824.html
Nur Azizah Fadhilah


Fenomena homoseksual bukan merupakan hal yang baru dalam masyarakat. Jika dahulu perilaku homoseksual dianggap tabu, kini tidak lagi. Banyak orang yang mengaku bahwa dirinya termasuk kaum homoseksual secara terbuka, bahkan bangga. Di Belanda misalnya, undang-undang yang melegalkan pernikahan dengan sesama jenis telah disahkan. Banyak orang yang menggelar acara pernikahan di sana agar status mereka sebagai homoseksual diakui secara hukum.

Secara normal, setiap orang akan merasa tertarik kepada orang lain dengan jenis kelamin yang berbeda, yaitu antara pria dan wanita. Keadaan tersebut kemudian menjadi abnormal saat ketertarikan secara seksual bukan lagi terhadap lawan jenis, tetapi kepada sesama jenis. Ini kemudian dikenal sebagai penyimpangan seksual. Tidak hanya homoseksual, penyimpangan seksual memiliki berbagai macam jenis seperti exhibitionism, fetishism, frotteurism, pedophilia, masochism, sadism, voyeurism, dan lain-lain. Klasifikasi penyimpangan seksual tersebut tergantung pada penyebab terjadinya sexual arousal atau pemicu seksual. Pada perilaku seksual yang menyimpang, sexual arousal terjadi karena hal-hal tertentu yang dianggap tidak normal di mata masyarakat, seperti ketertarikan pada hewan, bahkan mayat, yang kemudian dapat merangsang hasrat seksual.

Pelaku homoseksual menyukai sesama jenis. Perempuan menyukai perempuan dan pria menyukai sesamanya bukan lagi menjadi suatu hal yang mengejutkan. Hal tersebut karena fenomena homoseksualitas dapat ditemui di sekitar kita. Dari komentar masyarakat yang dihimpun dalam Kompas online tentang homoseksual, beberapa komentar mereka mengarah pada ketidakterimaan masyarakat akan orang-orang yang menganggap gay itu harus dijauhi. Bahkan, masyarakat menganggap bahwa menjadi seorang gay dan lesbian adalah hal yang wajar. Banyak pula pernyataan yang dijadikan dalih sehingga kaum homoseksual tetap dipertahankan, yaitu bahwa mereka juga manusia, sama seperti kita. Selain itu, terdapat pula komentar yang menyatakan bahwa homoseksual adalah sebuah bentuk abnormalitas seksual sehingga tidak terdapat pihak yang dapat disalahkan dalam keadaan ini. Pro kontra mengenai homoseksualitas inilah yang perlu dikaji lebih lanjut.

Dilihat dari perspektif biologis, tidak salah jika banyak orang menganggap homoseksual merupakan sebuah penyakit keturunan. Setiap orang dilahirkan dengan tingkat hormon yang berbeda-beda. Beberapa orang dilahirkan dengan tingkat hormon yang tinggi, yang menyebabkan dorongan seksualnya juga tinggi. Seringkali orang-orang dengan libido yang tinggi tersebut tidak mampu menyalurkan hasrat seksualnya. Orientasi seksual mereka pun berubah, tidak lagi ketertarikan terhadap lawan jenis, tetapi ketertarikan terhadap sesama jenis maupun hal-hal lain yang dapat memuaskan hasrat seksual mereka.

Faktor lingkungan sekitar pun berperan penting dalam hal ini. Faktor ini berpengaruh besar dalam membentuk pemikiran yang akhirnya mempengaruhi individu dalam mengarahkan orientasi seksualnya. Faktor lingkungan membuat seorang individu mempelajari hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Berbeda dengan perspektif biologis, mempelajari suatu perilaku dari lingkungan sekitar disebut juga learning theory.Learning theory juga memegang peranan penting mengenai penolakan terhadap homoseksual dan memberikan rangsangan yang benar terhadap orientasi seksual.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian besar media yang justru menciptakan sebuah kultur yang membuat kaum homoseksual terlihat seolah-olah benar dan tidak menyimpang. Di sisi lain, para lesbian, gay, biseksual, transgender/trans-seksual (LGBT) meminta masyarakat untuk tidak selalu memojokkan dan melakukan kekerasan terhadap mereka. Pasalnya, mereka saat ini masih dianggap orang terpinggirkan dan sampah bagi masyarakat. Padahal mereka juga mempunyai hak yang sama di masyarakat. Kekerasan baik verbal maupun fisik banyak terjadi dan tidak ada respon dari keluarga para LGBT akibat kurangnya kesadaran akan persamaan hak di masyarakat.

DASAR TEORI

a. Nature dan Nurture

Telah bertahun-tahun para psikolog menggeluti masalah perbedaan antarmanusia dan mereka terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang pertama yaitu nativist, adalah pihak yang menekankan pada gen dan karakteristik dasar (yang ada sejak lahir) atau nature. Kubu yang lain adalah golongan empiricist yang lebih menitikberatkan proses belajar dan pengalaman, yang disebut nurture. Edward L. Thorndike (1903), salah seorang psikolog terkemuka pada tahun 1900-an memihak kubu pertama ketika ia membuat pernyataan bahwa “Dalam kehidupan manusia, faktor yang paling menentukan adalah hereditas”. Akan tetapi, peneliti yang sezaman dengannya, yaitu John B. Watson (1925), seorang tokoh behavioris dalam ungkapannya yang sangat terkenal, menyatakan bahwa pengalaman mampu menuliskan segala pesan pada tabula rasa-lembaran putih bersih-sifat dasar manusia.

Konstribusi nature dan nurture membentuk kesamaan maupun perbedaan antarmanusia. Penelitian dalam genetika perilaku (behavioral genetic) berupaya mengungkap konstribusi dari hereditas (faktor keturunan) dan faktor lingkungan untuk menjelaskan perbedaan individual dalam karakteristik manusia. Kini hampir tidak ada lagi yang orang yang memperdebatkan masalah nature dan nurture. Sebagaimana pernah ditulis oleh seorang ilmuwan, “Perdebatan tentang nature dan nurture telah selesai”[1]. Hampir semua psikolog dewasa ini memahami bahwa pembawaan hasil keturunan dan lingkungan selalu berinteraksi dan menghasilkan bukan hanya sifat-sifat psikologis, namun juga sebagian besar ciri-ciri fisik. Pertama, gen mempunyai dampak bagi pengalaman kita. Di sisi lain, pengalaman memengaruhi gen. Tekanan stres, pola makan, emosi, dan perubahan hormon dapat memengaruhi gen yang aktif maupun yang tidak aktif pada saat-saat tertentu selama hidup seseorang.

Pentingnya perbandingan hereditas dan lingkungan adalah persoalan besar di antara para psikolog dan masyarakat umum. Saat ini telah jelas bahwa walaupun beberapa gangguan fisik langka 100 persen adalah keturunan, kecenderungan untuk kebanyakan kondisi normal merupakan hasil kekuatan herediter dan lingkungan yang kompleks.

b. Homoseksualitas

Homoseksualitas adalah hubungan seksual sesama jenis, dan biasanya ditujukan untuk menyebut baik ketertarikan atau hubungan seksual antar sesama jenis pria maupun sesama jenis wanita. Homoos (bahasa Yunani) berarti sama. Istilah ini pertama muncul di tahun 1986 dalam tulisan Karl-Maria Kertbenny. Homoseksual pria disebut gay, sedangkan yang wanita disebut lesbi/lesbian[2]. Perilaku homoseksual dianggap sebagai sebuah kelainan, bahkan sebagai sebuah penyakit. Sebagai upaya penyembuhan dilakukan terapi psikologis, pemberian obat-obatan, dan sebagainya. Hingga pada tahun 1973, American Psychiatric Assosiation (APA), menyatakan bahwa perilaku homoseksual bukanlah sebuah kelainan, melainkan sebuah orientasi seksual atau pilihan (preference). Pernyataan ini menimbulkan perubahan yang cukup besar, seperti diadakannya undang-undang pernikahan antar sesama jenis di beberapa negara bagian di Amerika Serikat dan negara-negara lain, seperti Kanada dan Belanda. Hanya saja persepsi dan perlakuan negatif terhadap kaum homoseksual yang dilakukan secara individual tidak dapat dihindari ataupun dikurangi.

Proses identifikasi homoseksual
Ada empat tahap yang biasanya dilalui oleh seorang individu dalam proses pengindentifikasian dirinya sebagai seorang homoseksual, atau biasanya disebut dengan istilah coming-out. King (1991) menjabarkan tahap-tahap tersebut sebagai berikut:

1. Menyadari diri sebagai seorang homoseksual. Biasanya terjadi di awal masa kanak-kanak (di bawah usia 15 tahun), atau nanti saat mencapai usia dewasa muda bahkan mungkin setelah menikah. Tahap ini biasanya dilewati dengan rasa kesepian, bingung, dan terkadang menyakitkan. Hal ini mungkin karena individu menyadari bahwa dirinya berbeda dari orang-orang di sekitarnya, atau adanya pengalaman seksual yang tidak menyenangkan (misalnya pernah dilecehkan atau bahkan diperkosa);

2. Mulai mengenal orang-orang homoseksual. Tahap ini mungkin tidak akan terjadi sebelum usia dewasa muda. Melalui tahap ini, biasanya individu akan mulai menjalin hubungan pertemanan, mulai berkencan, dan hubungan intim jangka panjang dengan sesama homoseksual. Dengan mengenal komunitas homoseksual maka rasa tidak berharga atau terisolasi dapat dikurangi, bahkan ada kemungkinan individu dapat tertarik pada kegiatan politik seperti menjadi aktivis mengenai hak-hak kaum kaum homoseksual;

3. Memberitahu orang-orang terdekat, seperti teman dan terutama keluarga. Ada banyak sekali homoseksual yang belum atau bahkan sama sekali tidak melalui tahap ini. Saat memberitahu, ada kemungkinan ditolak, tidak diakui, dan terjadinya konflik, atau justru mempererat hubungan keluarga dan mendapatkan dukungan penuh. Kasus yang banyak sekali terjadi adalah pemberitahuan secara parsial, yaitu hanya memberitahu teman-teman tetapi tidak memberitahu keluarga atau sama sekali tidak memberitahu siapa pun, namun terlibat dalam hubungan seksual di bar atau klub malam. Hal ini dapat menuju pada rasa stres yang luar biasa karena individu menjalankan dua kehidupan yang berbeda dan prioritas di antara keduanya sulit diutamakan salah satunya;

4. Keterbukaan secara menyeluruh. Dalam tahap ini, rekan kerja, pegawai, dan semua orang yang berada di sekitar individu mengetahui bahwa dirinya adalah seorang homoseksual. Seorang homoseksual yang mencapai tahap ini dianggap telah mencapai kondisi seksualitas yang sehat karena telah menerima diri mereka sendiri.

ANALISIS DATA

Dari data-data yang dikumpulkan, terdapat fakta-fakta sebagai berikut:

a. George Rice, peneliti dari Universitas Northwestern, Ontario, Kanada, menemukan bahwa pada pria gay yang ditelitinya, ternyata tak dijumpai keanehan pada kromosom Xq 28. Penemuan itu diperolehnya setelah meneliti 52 pasangan gay, yang ternyatafrekuensi Xq 28 sangat sedikit ditemukan. Menurutnyabeberapa peneliti memang menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran penelitiannya, namun dia tidak pulamembuktikan bahwa temuan mereka salah. Hal tersebut disebabkan karena penelitian itu berskala kecil, sedangkan gen yang spesifik memang sangat sulit ditemukan. Rice sendiri mengakui, ia tak hendak meniadakan hipotesis bahwa homoseksual berhubungan dengan faktor genetis. Ia hanya menemukan bahwa Xq 28 bukanlah segmen yang berhubungan dengan orientasi seksual kepada teman sejenis. Oleh karena itu, penelitian faktor genetis pencetus homoseksual harus dilanjutkan. Namun,dia sangat yakin dengan temuannya, terutama karena ia telah melakukan dua studi lanjutan yang memperkuat penelitian sebelumnya. Karena itu, baginya penelitian Rice diartikan sebagai bukti bahwa tidak semua kasus homoseksual disebabkan oleh Xq 28.

b. Sejak tahun 1973 para dokter dan psikolog yang terhimpun dalam APA (American Psychiatric Association) telah menghapus homoseksual dari daftar penyakit kejiwaanatau lebih dikenal dengan istilah DSM MD IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV). Sejak tahun 1900, studi masalah homoseksualitas lebihditekankan pada behavioral genetics melalui Human Genome Project di National Institutes of Health yang disponsori oleh Amerika. Namun, bagi sebagian besar oranghal ini masih dianggap kontroversial. Hal itu karena karakteristik perilaku misalnyaorientasi seksual bersifat melibatkan beberapa gen yang bersangkut paut dengan perilaku seksual.

c. Menurut penelitian Doktor Wahyuning Ramelan, ahli genetika kedokteran Universitas Indonesia, jika benar seorang pria menjadi gay karena keturunan, orang tuanya juga harus diteliti. Kalau gen pria yang disebutkan sebagai penyebab homo itu terdapat pada kromosom X, sifat ini hanya bisa diturunkan lewat ibunya. Seperti diketahui, seorang wanita berasal dari dua kromosom X, sedangkan pria berasal dari satu X dan satu Y. Ketika terjadi pembuahan, kromosom X yang diturunkan pada anak laki-laki merupakan sumbangan dari ibunya, bukan bapaknya. Untuk itu, perlu ada pemeriksaan pada kromosom ibunya. Namun, kalau ternyata ibunya tidak membawa kromosom homoseks, boleh jadi kelainan gen yang dialami anak berasal dari mutasi. Jika penelitian tersebut benar, kemungkinan munculnya pria gay juga sangat kecil.

d. Adanya proses identifikasi homoseksual, sehingga seorang individu melalui tahap-tahap hingga sampai pada sikap terbuka pada orang lain, yaitu tahap penyadaran, mengenal komunitas, dan memberitahu orang-orang terdekat. Hal ini menguatkan bahwa lingkungan berpengaruh besar terhadap kecenderungan homoseksualitas seseorang yang disebabkan oleh berbagai aspek yaitu pengalaman homoseksual dini, hubungan keluarga yang kacau menyebabkan kurangnya peran satu di antara orang tua sehingga kurang bisa merasakan kebutuhan akan lawan jenis, serta minimnya kontak dengan lawan jenis.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian rumusan masalah yang dipaparkan pada bagian pendahuluan, dapat disimpulkan bahwa:

a. Adanya kaum homoseksual lebih disebabkan oleh faktor lingkungan dan pergaulan. Meskipun seseorang memiliki gen homoseks, belum tentu ia berperilaku gay karena hal tersebut bergantung pada lingkungan dan pergaulannya. Sebaliknya, jika seseorang tak mempunyai gen homoseks namun sehari-hari berkumpul dengan pria gay, kemungkinan besar dia kelak akan menjadi gay.

b. Meskipun menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku homoseksual lebih disebabkan oleh lingkungan, namun kita harus tetap menyikapi eksistensi mereka dengan penuh toleransi, tidak menghakimi, dan saling menghargai.

Referensi:

Wade, Carol. dan Tavris, Carol.2007. Psikologi, Edisi Kesembilan, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga

HazwanendaRizky Khairani. 2010. Gambaran Self Efficacy Penggunaan Kondom pada Pria Homoseksual di Masa Dewasa MudaSkripsi. Jakarta: Prodi Psikologi Universitas Paramadina

No comments: